3. Deal

165 28 0
                                    


Jay menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia juga menjatuhkan badannya ke sofa di ruangan artis agensinya

Erik membuka pintu ruangan dengan sigap.

"Jay.. lo oke?"

"Menurut lo ? "
"Goblok apa gimana sih? Kenapa si Pak Ferry nyuruh gue kerja sama bareng anak itu."
"Gue yakin. Pak Ferry sm Pak Tio punya kesepakatan dibalik ini semua."
"DAN KENAPA GUE JADI KORBANNYA ANJING"

Jay membuka topi, lalu mengacak rambutnya frustasi.

"Emang kenapa gak lo ambil aja? Ini bisa ada benefitnya juga buat lo"

"Work with her ?! No thanks."
"Gue rasa tuh anak gaada attitude-nya. Reputasi gue sebagai public figure yang selama ini gue bangun gimana ?!"

"Lo kayakmya sensi banget sama dia ? Kan lo belom kenal dia"

Jay menatap Erik kesal.

"That's not the problem Erik."
" Lo tau untuk jadi sukses sendiri gini , perjuangan gue kayak apa! Gue gamau disuruh bokap untuk ngurusin perusahaannya. Dan lo tau gue punya hubungan yang gak baik sama bokap."
"Kalau sampe karir gue merosot sedikit aja, bokap langsung nyuruh gue ngurusin perusahaannya! Itu perjanjian gue sama dia!"

Sebelum Erik hendak memberikan sarannya, tiba tiba Pak Ferry masuk ke ruangan Jay.

"Jay, saya mau kamu untuk ambil project ini. Tentu saja saya sudah mempertimbangkan ini matang matang. Kamu tidak perlu khawatir"

"Pak.. saya tidak tertarikk..."

"Kalau ada hal yang merugikan kamu saat project ini berlangsung. saya sendiri yang akan turun tangan."

"Bapak, Saya. Tidak. Tertarik." Jay memberikan penekanan ucapan di tiap katanya.

"Kalau seperti ini. Saya kira ini hal yang perlu saya berikan."

Pak Ferry membanting pelan kertas yang sedari tadi ia bawa.

"Kamu bisa saya pecat, karena telah melanggar kontrak."
"Disini kamu ada dinaungan agensi, so take it or leave it."

Jay penuh dengan marah. Matanya membelalak kesal. Apa semua kerja keras dia untuk memberikan citra agensinya tidak cukup selama ini?

"Saya bisa cari agensi lain yang masih menerima saya."

"Kamu yakin ?!"
"Agensi kamu saat ini adalah agensi terbaik di Indonesia. Gimana kalau agensi lain dengar kalau kamu dipecat dari sini? Saya punya banyak koneksi, Jay. Apa masih ada yang menerima kamu.?"
"Tentunya karirmu sudah hancur."

Jay tetap memberikan ekspresi gigih, namun ia cukup gugup dari apa yang Pak Ferry katakan.

Pak Ferry tersenyum licik.

"Silahkan berpikir dengan matang Jay."

Pak Ferry keluar Ruangan yang memhasilkan Jay menjadi lebih frustrasi dari sebelumnya.

***

Gwen sedang men-setting gitar di studio musiknya.

Dari tadi ia kesulitan mengatur string gitar. Terdengar sekali suara Gwen yang mendecak sebal.

"Kenapa sih lo dari tadi ribet banget" Devan tertawa kecil melihat kelakuan temannya itu.

"Damn it! Kenapa gagal terus sih agh!! Fuck it."

Gwen melepaskan gitarnya, ia sudah menyerah.

"Lo kesel karena tiba tiba disuru jadi aktor atau gimana ? Komedi banget, seorang Gwen. Yang have no passion di dunia acting disuru acting"
"Kata gue sih, haters lo makin muncul kalau liat acting lo HAHAHA"

"Sialan lo. Jangan salah, gue sebenernya jago, tapi gasuka aja."
"Karena acting tuh kadang terlalu mengada ada."

"Alesan aja lo. Kalau ratingnya jelek traktir gue ya"

Gwen memukul pundak Devan kecil dengan malas. Laki laki didepannya ini sudah selalu saja menjadi orang pertama yang paling menyebalkan dihidupnya, tapi juga menjadi orang pertama yang akan datang jika Gwen membutuhkan bantuan.

"Tok tok tok hello guys, sorry gue telat" Nala membuka pintu studio dengan susah payah.

Ia membawa buku serta kertas catatannya yang sedang ia pelajari untuk Ujian Kompetensi Dokter Gigi.

"Kebiasaan." Gwen sudah menduganya.

"Sorry hehe, tadi pembimbing gue pas koas minta bantuan gue soalnya emergency, jadi gue telat banget."

Gwen tentu mengerti temannya ini sangat kesibukan, tetapi berkumpul mingguan seperti ini sudah menjadi kebiasannya sejak dulu.

"Anyway, so.. kenapa lo bisa ambil job acting ini ?" Nala bertanya sambil membulatkan matanya seperti seekor anak anjing, yang ingin tahu.

"Long story"
"Intinya, i'm fucked up. I need to pay off. So here i am."

"Tapi kan lo ga terlalu suka acting...."

"Iyaa, gue ngelakuin ini juga ada syaratnya"

Devan mendekatkan dirinya ke Sebelah Nala yang dari tadi ingin tahu.

"Apaa?" Devan menumpu dagunya dengan tangannya sambil melihat Gwen.

"You guys looks so funny WTF HAHAHA"
"Oke oke.."
"Syaratnya gue mau berpartisipasi untuk bikin soundtracknya, and now i need your opinion about what mood should i give in the songs...?"

Nala melemaskan badannya sambil mundur 2 langkah.

"Gak seru banget."
"Gue kira syaratnya, lawan main lo si Jay"

Gwen mengeluarkan ekspresi jijik serta membuka mulutnya lebar.

"In your dreams. Gue aja rada nyesel karena lawan main dia"
"Dia songong, nyebelin, sok paling bener. Pokonya yang jelek jelek sifatnya ada di dia"

Nala menahan tawanya.

"Tapi Jay keren loh, ganteng, tajir melintir, and he's a gentleman"

"That what the media said"

"Hati hati loh, lama lama lo nyaman lagi sama dia"
Nala menggoda Gwen sambil memgambil catatannya yang akan ia kerjakan.

"Oh no honey, i won't"

Devan hanya tersenyum sambil merasa gelisah yang entah datang dari mana.

***

yours truly ~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang