1

86 53 115
                                    

Bunyi bising dari alarm yang berbunyi pukul setengah 5 di pagi hari telah membangunkan lelaki berusia 16 tahun yang berbaring di kasur dengan mata tertutup. Ia terpaksa membuka matanya yang masih mengantuk kemudian menggerakkan tangannya untuk mematikan sumber bunyi bising yang berhasil mengagetkannya. Perlahan ia mengubah posisinya menjadi duduk menyender pada ranjangnya sebelum kemudian membasuh tubuhnya lalu bersiap untuk pergi ke sekolah.

Usai sudah kegiatan membasuh diri, lelaki dengan tubuh yang dilapisi seragam sekolah SMA LIGHTSPEED berjalan menuruni tangga di rumahnya. Sorot matanya mendapati orang tuanya yang sudah duduk dimeja makan dengan pakaian formal bersama tas dan koper disamping mereka.

"Pa...Ma..."

"Pagi Rafa, udah rapi aja. Sini duduk, sarapan dulu." Ucap ibunya yang menyambut kehadiran anak laki-laki satu-satunya itu dengan senyuman hangat.

Sepasang kaki remaja itu berjalan menuju ruang makan dan duduk bergabung dengan kedua orang tuanya. Tersedia 2 roti yang telah dipanggang dengan telur dan sehelai keju ditengahnya sebagai menu sarapan. Keluarganya memang tak pernah memakan nasi untuk sarapan, hanya makanan ringan yang akan mereka santap.

"Mama sama papa juga udah rapi aja pagi-pagi gini. Mau pergi kemana?"

Tanpa diberitahu, ia sudah mengetahui niat orang tuanya. Tak jarang kedua orang tuanya meninggalkan dia untuk waktu yang lama hanya karena pekerjaannya. Dia bukan lagi anak kecil yang menangis ketika orang tuanya pergi. Tanpa disadari Vero dan Hendra sering kali melepaskan tanggung jawabnya sebagai orang tua kepada para asisten rumah tangga yang mereka bayar untuk mengurus rumahnya dan tentu juga anaknya, Rafael Fritz Cornelio.

Vero dan Hendra saling melempar tatapan memberikan kode untuk menjawab pertanyaan dari anaknya. Sampai akhirnya sang ayah menjawab, "Papa sama mama mau pergi kerja lagi. Kamu disini dulu ya, jaga diri baik-baik." Jawab Hendra.

"Kali ini berapa lama?" Tanya Rafael dengan raut wajah tak peduli. Sungguh ia tak peduli dengan orang tuanya, selama ini ia tak pernah merasakan peranan Vero dan Hendra sebagai orang tua yang sesungguhnya. Apakah ia harus peduli?

"Papa kurang tau pastinya kapan. Kemungkinan sekitar 5 bulan. Kamu gapapa kan? Masalah uang nanti papa kirimin kok ke kamu."

"Iya pa."

Rafael hanya menjawab dengan kata "iya" yang bukan berarti ia berkata bahwa dirinya tidak apa-apa terbiasa ditinggal orang tuanya. Ia hanya ingin merasakan kehangatan dan kebersamaan keluarganya. Ia hanya ingin orang tuanya selalu ada untuknya dan membimbingnya. Apakah itu sulit?

"Papa dan mama juga kerja untuk kamu, demi memenuhi kebutuhan kamu. Kami kerja untuk keberlangsungan hidup kamu, ga ada yang lain. Papa sama mama mau kamu hidup berkecukupan. Ini semua karena kami sayang kamu, Rafa." Ucap Vero sembari mengusap bahu anaknya dan menatap kedua manik berwarna coklat terang milik anaknya yang tampak sangat indah.

"Iya ma, aku ngerti." Jawabnya sambil memberikan senyuman kecil pada ibunya.

"Pinter. Yaudah habisin dulu sarapannya baru berangkat sekolah."

Sekitar 10 menit sudah waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan sarapan seraya berbincang dengan orang tuanya. Rafael beranjak dari tempat duduknya kemudian berpamitan dengan ayah dan ibundanya untuk berangkat ke sekolah.

(UN)LOVING UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang