2 : Stasiun Takdir.

15 4 2
                                    

"Ah, kenapa baru bilang sekarang, Ma?" Seorang lelaki yang diketahui adalah Mahesa, tengah bersantai sambil menonton serial drama di aplikasi streaming itu terpaksa menghentikan kegiatannya dan menaruh berondong jagung yang dipegangnya.

Mama menelepon. Berkata bahwa anak dari teman Mama akan datang dan menginap untuk sementara waktu sampai orang tuanya akan menyusul dan pindah ke kota ini. Entah bagaimanapun cerita rincinya, yang pasti saat ini dirinya sedang panik untuk membenahi diri karena sejak pagi ia belum mandi.

Ya, maksudnya di hari libur yang limited edition ini akan lebih menyenangkan jika seharian melakukan apa yang dapat membuat hatinya merasa senang. Bermain konsol game dan menonton film sambil memakan banyak cemilan. Karena ia tidak tahu bahwa ternyata Mama menelepon dan memberi kabar yang cukup mengejutkan.

Dengan langkah cepat ia berlari dan menyambar sebuah handuk yang tergantung di balkon kamarnya, lalu masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan tubuhnya yang sebenarnya tidak bau, entah mengapa bisa seperti itu.

Untungnya, ia memiliki keahlian yang tidak berguna, yaitu mandi dengan waktu yang singkat. Setidaknya tidak terlalu terlambat. Dengan tergesa-gesa dirinya mencari pakaian dan segera memakainya. Tak lupa merapikan rambutnya yang bagus dan terlihat trendi.

Setelah merasa semuanya sudah beres, ia menyambar sebuah kunci motor miliknya. Sebuah sepeda motor kebanggaan karena barang pertama yang dibeli menggunakan uang miliknya sendiri tanpa tambahan dari siapapun.

Memang benar adanya kabar yang mengatakan bahwa Mahesa adalah anak dari orang yang cukup kaya raya. Tetapi ia bukanlah tipe orang yang senang dan mengharuskan mengoleksi barang-barang atau sesuatu yang bernilai besar. Baginya, yang penting berguna. Tidak perduli seberapapun harganya.

Sejenak Mahesa melirik arloji yang melingkar di lengan kanannya. Masih ada waktu untuk mengejar keterlambatannya. Ia memakai helm dengan bogo dan mengaitkan penyangganya. Tak lama, terdengar suara motor berbunyi dan motor yang dinaikinya melesat pergi meninggalkan pekarangan rumahnya yang luas.

Telah berkali-kali ia mengeluarkan kata-kata kasar dan sumpah serapah dari mulutnya sepanjang perjalanan. Bukan untuk Mama, melainkan untuk gadis anak sahabat Mama yang tiba-tiba membuat waktu santainya terhenti.

Ditambah jalanan begitu panas karena sinar matahari yang menyengat. Untung sebelum pergi ia memakai sunscreen dan pakaian yang panjang. Ia menghela napas panjang dan melajukan kecepatan motornya supaya tidak terlalu berlama-lama di jalanan yang panas.

Mahesa bersumpah akan membuat gadis itu merasa tidak nyaman ketika sampai di rumah. Karena ia juga menjadi tak nyaman menikmati waktu senggangnya.

"Tunggu tanggal mainnya, Cantik."

***

Suara decitan rem kereta terdengar nyaring di telinga. Begitu pula suara seseorang yang memberitahu bahwa saat ini sudah sampai di pemberhentian terakhir. Tak lupa memandu para penumpang agar meneliti barang bawaannya supaya tak tertinggal.

Seorang gadis merapikan pakaian yang dikenakannya, lalu menarik koper yang begitu besar keluar dari kereta. Terlihat ada banyak orang yang menunggu di peron. Tak lama setelah pintu terbuka, orang-orang dengan gesitnya berdesak-desakan masuk ke dalam kereta dan berebut bangku penumpang. Hingga seorang petugas harus turun tangan menertibkan para penumpang.

"Beri jalan keluar terlebih dahulu!" Teriak seorang petugas yang membuat penumpang kembali tertib. Tetapi ada pula yang keras kepala, meski hanya beberapa.

Berhubung jalan mulai terbuka, gadis itu mengambil kesempatan untuk keluar sebelum kondisi semakin tidak terkendali.

Jogjakarta.

Ia menghirup udara kota Jogjakarta yang masih begitu segar. Berbeda dengan Jakarta, yang sudah terkontaminasi oleh polusi udara dari knalpot kendaraan yang tak berhenti berdatangan, pula asap pabrik yang merajalela.

Udaranya begitu sejuk. Helai-helai rambutnya berterbangan hingga menutupi sebagian wajahnya.

Karena satu dan dua hal, keluarganya memutuskan untuk pindah tempat tinggal dari Jakarta ke Jogjakarta. Tentu saja ia setuju dengan keputusan tersebut. Ia ingin menikmati suasana yang baru.

Tetapi, Ayah dan Ibunya tidak bisa pergi hari ini. Karena masih banyak urusan yang mereka miliki. Akhirnya hanya ia seorang diri yang terlebih dahulu meninggalkan kota Jakarta. Kata Ibu, ia memiliki sahabat dekat yang akan merawatnya sementara waktu.

Ia melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya. Sudah pukul dua siang, tetapi orang yang menjemputnya tak kunjung datang. Tante Sela mengirimkan pesan bahwa putranya akan menjemput pukul dua siang. Matanya berkeliaran mencari sosok jangkung yang penampilannya sama seperti di foto. Beberapa waktu lalu Tante Sela mengirimi foto putranya.

Ia mendesah panjang. Barang bawaannya cukup berat. Ingin sekali ia memesan jasa antar jemput online, tetapi ia terlanjur memiliki janji. Bagaimana jika ia sudah meninggalkan stasiun, justru lelaki itu malah datang?

Bruk!

Ia terhuyung dan jatuh terduduk di belakang. Koper dan tasnya pun turut jatuh dan menimpanya. Seseorang terlah menabrak dan membuatnya terjatuh. Orang yang menabraknya pun terjatuh tak jauh dari posisinya saat ini.

"Ouch," ia meringis. Bokongnya cukup sakit mengingat peron stasiun ini terbuat dari batu dan semen. Bahkan koper dan tas yang cukup berat menimpa tubuhnya.

"Lo kalo di stasiun jangan bengong dong! Mana di tengah jalan! Gua lagi buru-buru ini!"

Matanya membelalak tak percaya melihat lelaki jangkung dihadapannya. Bukankah dia yang menabrak? Bagaimana bisa justru dia yang memaki-maki?

"Heh! Lo yang nabrak, ya! Kenapa jadi lo yang marah-marah?" Ia membalas tak terima. "Lagian jalan gede, pake mata, jangan cuma kaki doang yang lo pake! Buta, lo?"

Lelaki itu hanya tertawa sarkas, lalu mengabaikannya. Berlalu meninggalkannya yang masih terpaku di tempat. Lelaki itu merogoh ponsel di saku jaketnya dan terlihat menelepon seseorang.

Saat ia sedang mengangkat koper, ponsel miliknya pun berdering. Dengan cepat ia mengambil ponsel dan menelisik siapa yang meneleponnya. Lalu sebuah nomor tak dikenal terpampang dengan jelas di layar. Ia mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?" ia membuka suara.

Tak kunjung mendapat balasan dari lawan bicaranya. Ia menoleh ke belakang, dan melihat lelaki yang menabraknya tadi juga menoleh menatapnya. Sebuah kebetulan yang terlalu pas.

Ia perlahan-lahan menurunkan tangannya yang memegang ponsel dari telinga. Begitu pula lelaki tersebut.

Wahai semesta, mengapa takdirmu terlalu tiba-tiba dan tak dapat ditebak?

***

Mahesa & SkenarionyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang