-No news-

740 124 14
                                    


🦊 Happy Reading 🦊

H

inata baru saja memasuki ruang tamu mension megah itu setelah lama meninggalkan rumah. Namun, begitu pintu besar itu terbuka, pandangannya langsung tertumbuk pada sosok ayahnya yang duduk tegap di sofa, menatapnya dengan mata yang tak bersahabat. Ruangan yang biasanya terasa luas kini terasa begitu menyesakkan, seolah-olah udara pun ikut terasa berat.

Ayahnya, Hiashi, adalah sosok yang selalu tampak tenang dan terkendali, namun malam ini ada ketegangan di dalam sorot matanya yang membeku. Suasana yang biasanya sunyi itu kini terasa penuh dengan api yang siap meledak.

Hinata menghela napas pelan, merasa seolah beban dunia ini terlalu berat untuk dipikul seorang diri. Tanpa mengatakan sepatah kata, dia melangkah masuk ke dalam, tetapi ayahnya yang keras kepala langsung berdiri dan menghampirinya, menghadang langkahnya.

"Masih ingat rumah?" suara Hiashi begitu dingin, tajam seperti pedang. Hinata tidak menjawab, hanya menatap ke bawah, berusaha menahan segala perasaan yang bergolak di dalam dadanya.

Hiashi mendekat, langkahnya berat, seakan setiap detik yang lewat semakin menambah berat beban di pundaknya. "Apa kau pikir ini baik, seorang gadis pulang tengah malam seperti ini?" tanyanya, suara seraknya terdengar menekan. "Dari mana saja kau? Setelah sekolah kau tak kembali ke rumah. Kau pergi ke mana Hinata?"

Hinata menatap ayahnya dengan tatapan kosong, tak mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Kata-kata Hiashi seakan menusuk jauh ke dalam hatinya, tetapi dia memilih untuk tetap diam. Hatinya yang sudah lama terluka kini terasa semakin terperosok, namun dia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahannya.

Dengan senyuman pahit, Hinata akhirnya mengangkat bahunya. "Apa peduli mu?" jawabnya dengan nada sinis, melontarkan kata-kata yang bahkan dirinya sendiri rasakan begitu asing. Namun, kata-kata itu terasa lebih sebagai pelampiasan atas segala kepedihan yang ia pendam.

Tak ada peringatan. Tangan besar Hiashi melesat begitu cepat, menyambar pipi Hinata dengan kekuatan yang tak dapat ia hindari. 'Plak!' Bunyi tamparan itu menggema di dalam ruang tamu yang sepi. Rasanya begitu perih, namun Hinata sudah terbiasa dengan rasa sakit itu. Rasa sakit yang datang begitu cepat, tapi hanya sementara. Ia menahan matanya yang terpejam, berusaha meredakan perasaan yang bercampur aduk.

Hinata perlahan membuka mata, namun dunia di sekitarnya terasa begitu kabur. Kepalanya terangkat paksa, mata mereka bertemu—dua pasang mata kelabu yang begitu berbeda, seolah bisa saling melukai. Namun, dalam tatapan itu ada lebih dari sekadar kebencian atau amarah, ada perasaan yang sudah lama terkubur di dalam diri mereka, yang entah kapan akan meledak.

Tanpa sepatah kata pun, Hinata mengalihkan pandangannya, seolah tak ingin terjebak dalam permainan emosional ini lebih lama. Tanpa peduli pada tatapan tajam ayahnya, dia berbalik dan melangkah pergi. Setiap langkahnya terasa begitu berat, seperti ada sesuatu yang menariknya ke belakang, namun ia terus maju.

Dia merasa lelah. Lelah dengan segalanya. Bukan hanya tubuhnya yang letih, tetapi jiwanya pun terasa hampa. Tidak ada tempat untuknya bersembunyi, tidak ada pelipur lara. Hanya ada hening dan kepedihan yang terus menghantui.

Saat pintu tertutup di belakangnya, meninggalkan Hiashi yang masih berdiri diam di ruang tamu, Hinata tak lagi merasa ada yang bisa dia perjuangkan di rumah itu. Tidak ada cinta, tidak ada perhatian—hanya ada ketegangan yang tak berkesudahan. Dia meninggalkan semuanya begitu saja, berharap bisa menemukan kedamaian di luar sana, meski entah di mana tempat itu.

.

.


[3] Kyubi and His Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang