Prolog

13 0 0
                                    


Nyatanya, aku belum benar benar melupakanmu. Di setiap hari-hari spesial di hidupku, aku selalu mengunjungi kota ini, walaupun hanya sekedar duduk di kafe dan meminum secangkir matchalatte.

Seperti hari ini, di hari kelulusan S1 ku, aku duduk di halte bus pinggir kota untuk berteduh. Berkendara menembus hujan dari kotaku menuju kota ini cukup melelahkan. Cuaca sedikit cerah, banyak mendungnya. Aku memutuskan tidak melepas jas hujanku, melihat kondisi langit yang berpotensi hujan besar lagi.

Biasanya, aku mampir ke kafe dekat sini. Tetapi kali ini tidak. Aku berniat mengunjungi kafe kecil dekat sekolah ku dulu, tempat favoritku dan dia duduk berdua sambil bercengkrama.

Aku segera beranjak dan kembali mengendarai motor scoopy coklatku dan meluncur di jalanan kota yang ramai nan padat.

Sampailah aku di depan kafe itu. Bangunannya tidak banyak berubah, masih sama seperti dulu. Bangunan putih kecil dengan pintu kaca, dan atap berbentuk joglo. Aku berjalan pelan dan masuk, kafe ini sangat sepi, mungkin karena hujan deras, orang orang jadi malas keluar rumah.

Aku duduk di tempat favorit kami dulu. Memesan secangkir matchalatte dan pancake yang juga selalu ku pesan saat duduk berdua dengannya beberapa tahun silam.
      
Dengan menghembuskan nafas berat, aku menyeruput matchalatte yang rasanya masih sama seperti dulu itu. Matchalatte ini tetap enak, tetap lezat, tapi ada yang berbeda kali ini.

Dulu, aku selalu menikmati matchalatte dengan senyumanmu yang duduk di hadapanku. Kali ini aku sendirian, dengan desir angin dan suara hujan besar di luar sana.
      
“Vandi, aku lulus hari ini. Tahun ketujuh aku tidak bertemu denganmu.” Bisikku pada angin.
     
Pintu kaca kafe terbuka dengan buru-buru. Seorang lelaki dengan kemeja putih dan celana hitam, membawa tas ransel berukuran sedang berwarna hitam, dan menenteng jas hitamnya memasuki kafe.
     
Sepertinya dia kehujanan, sepatunya basah. Dia kemudian berjalan ke kasir dan memesan sesuatu. Dia berjalan sambil menunduk menatap sepatu hitam legamnya yang bercampur lumpur itu, sedih. Kemudian dia duduk tepat di seberangku.
     
Demi Tuhan, aku terhenyak.

Entah apa yang membawa lelaki itu ke sini. Tatapan matanya kini mengarah padaku, kami sempat bertatapan dalam diam.

Aku yang gemetaran dan dia yang masih mencerna suasana. Aku agak ragu ragu apakah itu dia? Sedikit berubah kalau dari segi penampilan. Aku yakin dia juga sedang berusaha mengenaliku.      

Kemudian dia beranjak dan duduk di hadapanku, tersenyum hangat, sama seperti dulu.  

“Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan suara yang lebih berat dari beberapa tahun yang lalu.   

Ya, dia Vandi. Vandi Rajendra lebih tepatnya. Lelaki yang membuatku selalu mengunjungi kota ini, lelaki yang selalu membuatku teringat tentang kota ini.

Dia masih sama seperti dulu. Tampan, ramah, pembawaannya yang tenang dan berwibawa, dengan jam tangan yang selalu melingkar di pergelangan tangan kanannya. Mata sipit dan hidungnya yang sedikit mancung, serta alis tebal dan tangan kekar berurat itu tidak berubah. Hanya tinggi badan yang meninggi dan suara yang memberat saja yang berubah. 

“Baik. Kamu?” balasku singkat dengan gemetar.

“Baik juga. Nggak nyangka bisa ketemu lagi.” Tuturnya sambil mengaduk americano yang dia pesan. Bahkan, makanan dan minuman favoritnya di sini tidak pernah berubah.
    
“Iya.” Hanya itu jawabku.
    
“Kamu ada acara di sini?” tanyanya.

Aku kikuk. Dia tahu persis bahwa aku sama sekali tidak punya sanak keluarga di sini, jadi aku tidak mungkin menjawabnya dengan “berkunjung ke rumah saudara.”
     
“Enggak, lagi pengin jalan-jalan sendiri yang lumayan jauh aja. Self reward setelah lulus S1.” Itu jawabku.
     
“Wah, keren! Kamu sudah lulus S1? Fakultas apa? Jurusan apa? Dimana?” tanyanya antusias.  

Aku tertawa pelan. Bahkan sikap antusiasnya selalu sama seperti tujuh tahun yang lalu.
     
“Iya. Alhamdulillah, Fakultas Kedokteran, Jurusan Penyakit Dalam, UGM.” Tuturku disambut dengan ekspresinya yang kagum.
“Kamu sendiri gimana? Kuliah atau kerja?” tanyaku balik.
     
“Ah, enggak. Setelah lulus SMK, aku melanjutkan perusahaan Ayahku. Alhamdulillah sudah kerja sekarang.”
Tuturnya. Ekspresiku berganti kagum.
      
“Sudah berapa lama kita ngga ketemu, Dinara?” tanyanya beralih topik.
     
“Tujuh tahun, Vandi.”
     
“Iya. Terakhir kali aku melihatmu, saat usiamu 14 tahun, dengan mengenakan seragam putih biru dan menangis.” Tawanya mencair.
     
“Iya. Terakhir kali aku melihatmu juga saat usiamu 14 tahun, dan mengenakan seragam putih biru. Lalu menangis melihat mobilku dan truk barangnya berjalan meninggalkanmu.” Ejekku balik.   

Kami berdua tertawa.
 
Magelang yang kurindu, Magelang yang ada kamu di setiap hariku.

 







MAGELANG DAN KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang