3

2K 92 28
                                    

Untuk orang sepeka Dimas, ia begitu paham jika Devon sangat tertekan dan depresi meskipun jarang diungkapkan sekalipun lewat tangis. Sudah seperti inipun Devon masih berpura-pura tegar untuk menjaga image nya, dia menyebalkan.

Setiap melihat wajah dingin itu Dimas  hanya bisa menghela nafas panjang, bagaimana membantunya ? Mencari keluarganya pun juga nihil. Devon selalu tutup mulut bila ditanya tentang keluarganya bahkan marah, Bi Inah kepala asisten rumah tangga yang mengurus Devon sejak kecil juga ikut bungkam, begitu juga pelayan Devon yang lain.



"Apa mereka tak mau Devon cepat sembuh" sambat Dimas didepan Dennis sekretaris sekaligus asisten pribadi Devon, hari ini Dennis datang menjenguk Devon sekaligus melaporkan soal kantor.

"Dok sebenarnya Pak Devon masih memiliki keluarga beliau punya adik perempuan, namanya Angelica. Bi Inah bilang Pak Devon dan adiknya punya hubungan yang buruk, setelah lulus SMA nona melanjutkan studinya di London ia belum pernah pulang sampai saat ini." Mereka berdua mengobrol dikantin rumah sakit sambil makan siang

"Sungguh ?" Dimas sedikit condong ke depan, menyimak seksama sambil menyantap kari ayam favoritnya

"Aku tak tau hubungan mereka seburuk apa tapi Pak Devon selalu mengirimkan uang padanya. Setiap bulan saat cetak rekening tak pernah ada tagihan atas nama Nona, yang artinya Nona Angelica sama sekali tak pernah memakai uang yang dikirimkan Pak Devon. Nona Angelica sekarang di Korea."

"Jika Dokter mau saya bisa memberikan informasi Nona Angelica  lewat e-mail."

"Hadeuh kenapa kau tak memberitahu ku sejak dulu, kalau begini kan aku tak perlu pusing-pusing, tapi terima kasih telah memberi tahuku aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhannya."

"Saya juga berterima kasih, Dokter telah banyak membantu Pak Devon. Jika Dokter perlu sesuatu silahkan hubungi saya, saya pasti akan membantu semaksimal mungkin untuk kesembuhan beliau."

"Omong-omong kau tak perlu bersikap terlalu formal kepadaku, bukankah sepertinya kita seumuran. Santai saja, kau bisa memanggilku Dimas."



Mbok Inah tertidur di sofa yang berjarak sekitar 2 meter dari brankar Devon, ia terlihat lelah. Mbok Inah selalu siap siaga mendampingi Devon selama ia sakit, tak pernah mengeluh merawat dirinya yang saat ini sangat merepotkan.

Sudah hampir dua bulan, aku belum juga sembuh. Devon menatap sendu pada Mbok Inah yang sedang tidur. Dia sudah tua, seharusnya aku yang mengurusnya. Dari dulu hanya bisa merepotkannya air mata itu lolos begitu saja, Devon menangis.







Hari ini Dimas dan Dennis ikut mengantar Devon pulang setelah dua bulan di rumah sakit.

Dennis mendorong kursi roda Devon menuju kamarnya, membantunya berbaring diranjang dengan dibantu seorang pelayan setelah itu membenarkan posisinya supaya Devon dapat beristirahat dengan nyaman. "Pak anda butuh sesuatu ? atau merasa kurang nyaman ?" 

"Ma..a sih"  ucap Devon terbata-bata, ia juga mencoba tersenyum dengan menarik ujung bibir nya keatas namun malah ekspresi aneh yang tercipta. "Kalau begitu saya pamit" Dennis membungkukkan badannya pamit undur diri, ia menyusul Dokter Dimas di ruang tamu dan berbincang.



"Bagaimana dengan Nona Angelica, kau berhasil menghubunginya kan ?"

"Ya" Dimas mengendikkan bahunya

"Lalu bagaimana ?"

"Aku berhasil menghubunginya, tapi..."

"tapi ?"

"Setelah mengenalkan diri dan mengatakan kalau kakaknya sakit dia mematikan telefon, bahkan aku belum sempat mengatakan bagaimana kondisi Devon"

"Sepertinya hubungan mereka benar-benar buruk."

"Pak Dokter, Nak Dennis ayo makan siang dulu mbok sudah siapkan." Mbok Inah muncul dari arah dapur "iya mbok" jawab mereka bersamaan.

"Dimas ayo" mereka berdua menuju meja makan di dapur.

"Wah kari ayam !" Dimas girang melihat makanan favoritnya disajikan.


Selesai makan Dennis langsung berpamitan pada Dimas dan Mbok Inah untuk kembali ke kantor, sedangkan Dimas ke kamar melihat Devon. "Wah ini kamar atau museum TNI" komentar Dimas melihat nuansa kamar Devon yang didominasi warna hijau army serta pernak pernik miniatur berbagai kendaraan dan senjata. "Kau tidur ya" Dimas mendekat ke ranjang "Cepatlah sembuh nanti kutraktir kari ayam" Setelah itu ia berpamitan pada Mbok Inah dan kembali ke rumah sakit.




Cacat

Devon memandang dirinya di depan cermin. Lihatlah.. kau sangat jelek sekarang Devon bermonolog dengan dirinya sendiri di depan cermin. 

Selain tubuhnya wajah kanannya juga lumpuh, lihatlah bibir yang miring ke kanan itu, kantung mata kanannya yang menggelambir serta ruam merah dimatanya yang buta nampak sangat jelas pada wajahnya yang putih pucat.

Devon teringat malam itu, sama seperti malam ini Ia didepan cermin. Tubuh yang sangat ia kagumi dulu sekarang hanyalah tubuh renta yang tak berguna.

Mengerikan, aku sangat jelek. badannya bergetar disertai air mata yang mulai mengalir deras. Suara tangisan yang lebih mirip suara anak kucing terdengar samar dari bibir. Ia merasa hancur dan tamat, kepercayaan dirinya roboh begitu saja hanya karena sebuah cermin.


Kenapa tidak mati saja.








kritik dan saran sangat aku harapkan untuk cerita yang lebih baik kedepannya

hope u enjoy my story
happy reading....




Sister For SaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang