13

439 27 6
                                    

"Dimas.. apa nanti mataku juga akan buta?" Devon menurunkan kacamatanya, berkedip sekejap, merasakan dunia di sekitarnya menjadi samar dan tidak jelas.

"Aku telah kehilangan kemampuan untuk berjalan dan menjadi lumpuh, sepertinya aku juga telah kehilangan tangan kananku." Devon menghela nafasnya payah, usaha yang sia-sia mencoba menggerakkan tangan kanannya.

"Apa aku juga akan kehilangan penglihatanku nantinya?" Yang ditanya juga menghela nafas lalu duduk mendekat

"Gangguan penglihatan saat berlanjutnya usia adalah hal yang wajar, menjadi buta? mungkin saja, bukankah banyak lansia yang mengalaminya juga."
..
"Memang apa yang harus dipikirkan, kita tak bisa melihat masa depan tapi setidaknya kita bisa mencoba yang terbaik di masa sekarang untuk masa depan yang baik juga. Bukankah begitu?"

"Ekh" Devon memijat pelipisnya tak puas dengan jawaban Dimas

"Maaf" Dimas berdehem "Aku hanya mencari jawaban yang aman. Tak biasanya kau bertanya seperti itu."

"Aku takut" Devon menggigit bibir bawahnya, sedangkan tangan kiri mencengkeram selimut erat seakan takut goyah kehilangan. 

"Kakek yang dulu selalu dibelakangku, telah tiada. Nenek yang tak pernah akur dengan Angelica, aku juga menjadi tidak akur dengannya."
..
"Kerabat lain? Entahlah. Apa aku punya.." Devon bergelak sedikit tertawa. Entah apa arti tawanya, namun terdengar sedikit miris.
..
"Giaa...."


Mendengar Devon menyebutkan nama adiknya membuat Dimas semakin menajamkan rungu menunggu kalimat selanjutnya. Entah kenapa jantungnya berdebar kian cepat bahkan rasanya detak jarum jam dinding terdengar lebih jelas ditelinga. Suasana seakan membeku menunggu jawabannya.



"Euhhh... kepalaku sakit entah kenapa." Setelah membicarakan Angelica Devon selalu seperti ini

"Huft" Dimas menelan ludah menghela nafas, entah kenapa ia sedikit kesal.

"Dev, kau baik-baik saja?"

"Ya, aku baik-baik saja, lalu bagaimana dengan mataku?"

"Sebentar" Dimas berbalik membelakangi Devon mengusap wajahnya kasar lalu mengambil nafas dalam-dalam Aku tau kondisi fisik dan mentalnya sedang tidak baik, Ya Tuhan kenapa aku merasa kesal kembali berbalik pada Devon dengan senyum ala-ala. 

"Dev stroke dapat menyebabkan gangguan mata yang dapat mempengaruhi penglihatan melalui beberapa mekanisme yang berbeda. Pada kasus yang kamu alami gangguan pada peglihatanmu adalah karena tekanan mata yang yang tinggi. Tekanan yang tinggi dapat merusak saraf optik dan menyebabkan kerusakan penglihatan. Kita sebut saja Glaukoma."

"Glaukoma ini, bisa sembuh kan?. Bagaimana dengan operasi?" 

"Ya, operasi dapat menjadi pilihan untuk mengobati glaukoma, terutama jika penanganan dengan obat tetes mata atau pengobatan lainnya tidak efektif dalam menurunkan tekanan mata. Namun, penting untuk dicatat bahwa operasi glaukoma tidak selalu dapat menyembuhkan kondisi ini sepenuhnya."

"Operasi bertujuan untuk mengendalikan dan mencegah kerusakan lebih lanjut pada mata, serta mempertahankan penglihatan yang ada. Setelah operasipun, pasien mungkin masih perlu menjalani perawatan jangka panjang, seperti penggunaan obat tetes mata atau pengobatan lainnya, untuk menjaga tekanan mata tetap terkontrol. Seperti yang sedang kamu jalani saat ini." 

Devon tersenyum getir mendengar kalimat yang isinya sama dari Dokter Seto yang meresepkan kacamatanya dan Dimas Dokternya.

"Ya aku tak bisa memberikan garansi, spare part dari yang kuasa sangat langka. Tapi percayalah aku dan Dokter Seto akan berusaha." Senyum pepsodent tercetak di wajah Dimas meyakinkan Devon agar tak patah semangat. Tak ada pilihan lain, Devon pun mengambil keputusan itu mempercayakannya pada Dimas dengan membalas senyumnya.











===

"Sudah nyaman?" Devon mengangguk tanpa kata sambil menghela nafas sedikit panjang saat dua orang selesai memindahkan tubuhnya dari kursi roda ke mobil dengan sedikit drama sebab tak berpengalaman. Sedangkan Devon pasrah terbiasa saat orang-orang mengangkat tubuhnya kesana kemari menahan ketidaknyamanan sebab tahu diri, bila ia tak bisa sendiri.

"Huft.. akhirnya." Dimas tersenyum puas telah berhasil memindahkan Devon, yang entah sudah berapa kali kepala Devon terantuk kuda besi itu. Sedangkan Dennis tersenyum kikuk segera menyusul Dimas yang sudah duduk manis disamping kursi kemudi. 

Mbok Inah disamping Devon menjaganya sambil siap siaga memegang selimut kecil dipangkuannya sebab Devon sering mengeluh kedinginan ditengah panasnya Ibukota. Tak lupa air hangat dinakas pintu mobil.

Setelah semua penumpang siap, mobil mulai melaju meninggalkan basement rumah sakit tempat Devon dirawat selama hampir enam bulan ini. Mobil yang mereka kendarai melaju pelan menggingat Devon baru saja mengalami kejadian tak menggenakkan.

Sepanjang perjalanan Devon menatap jalanan yang dilaluinya. Selama sakit biasanya Devon akan tidur dalam mobil selama perjalanan, entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini.

"Nak, kau perlu sesuatu?" tanya Mbok Inah yang turut memperhatikan Devon yang tampak sibuk memandangi jalan.

"Ngga Mbok, makasih." Jawabnya yang masih sibuk memandangi jalan,

"Apa kau takut? tanya Mbok Inah lagi." Devon menggeleng, tak ada kata dari mulutnya. Mbok Inah maklum. 

Seakan ada ikatan batin diantara mereka, Mbok Inah turut merasakan kegundahan yang Devon rasakan meski tanpa kata yang terucap.



"Dennis berhenti." Katanya membuat terkejut semua penumpang.

"Pak?"

"Menepi, kubilang menepi!!" nadanya sedikit tinggi sambil mengetuk jendela menunjuk sebuah gereja.

"Devon kau perlu sesu...."

"Menepi!!!" Belum selesai Dimas menyelesaikan kalimatnya Devon kembali meninggikan suaranya.

"Ya baiklah, Dennis ayo menepi sebentar." Dennispun segera menepikan mobilnya mengikuti perintah.

"Nak.." Mbok Inah yang khawatir turut angkat suara, sambil mengusap lembut pundak Devon.

"Angelica sebentar lagi keluar" Devon terus menatap, memperhatikan orang-orang yang keluar dari gereja.

"Mbok apa tadi sebelum berangkat Misa, Angelica menggunakan mantila berwarna hitam?" Devon bertanya sambil terus melihat ke arah gereja.  Sedangkan Mbok Inah kelu menelan ludah. Begitu pula Dennis, tanggannya seakan kaku menggenggam kemudi erat-erat.

Dugh.. Devon mengantukkan kepalanya pelan pada jendela mobil. 

"Ah kepalaku pusing"
..
"Dennis kenapa berhenti?, bisakah kita segera pulang."

Mbok Inah dan Dennis menatap Dimas bersamaan menunggu jawaban, raut  mereka berdua jelas terlihat sedang bertanya apa yang sedang terjadi. Sebab ini pertama kalinya Mbok Inah dan Dennis melihat Devon yang seperti ini.



















Sister For SaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang