Chapter 9

14 0 0
                                    

—Galan W. Aldrich—

"Tuan muda, apa anda ingin saya membawakan tas anda?" Seorang pelayan perempuan bertanya.

Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum. "Tidak perlu. Aku ingin ke kamar dan jangan ganggu aku."

"Baik, Tuan. Nyonya tadi berpesan agar Anda tidak lupa dengan makan malam dengan pemilik perusahaan Ecelation minggu depan."

"Mama pulang?" tanyaku mengerutkan kening.

"Tadi jam 10. Tetapi beliau harus pergi lagi, kali ini ada pertemuan mendadak di New York."

"Oh." Aku sedikit kecewa karena tidak sempat bertemu Mama. Sudah berapa lama aku tidak melihat wajahnya? Mungkin sebulan? Dua bulan? Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali bertemu dengannya.

Aku melangkah ke tangga dan memasuki kamarku yang berada tepat di depan tangga. Wajah Liesel masih saja menghantui pikiranku. Kali ini semakin buruk karena kali ini dengan nada piano yang ia mainkan. Aku tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata.

Hebat.

Dia benar-benar hebat. Semua anak melakukan standing applause padanya, tapi dia terlihat tidak terlalu peduli. Ia bahkan fokus berbicara pada Bu Faza yang langsung mendapat anggukan antusias dari beliau. Pokoknya, bisa tidak bisa, aku besok harus berbicara dengan Liesel. Aku harus bisa mendekatinya.

*****

"Beritanya tersebar." Galih menatapku. "Katanya kemarin dia main piano dan didengar banyak orang."

Aku mengangguk. "She's amazing. Dia kandidat kuat buat festival, tidak bisa diganggu gugat."

"Lo makin naksir?"

"Tentu saja? Nggak ada orang yang nggak akan naksir Liesel."

"Tapi kamu nggak kenal karakternya. Mungkin aja dia seorang psycho."

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala menanggapi Galih. Kenyataannya setelah dua kali berbicara dengan Liesel, dia terlihat seperti cewek yang manis dan polos. Dia seperti... siapa ya aku menggambarkannya? Seperti bidadari yang turun dari surga—

"Lo kelihatan bodoh banget kalau bilang dia seorang bidadari."

Aku menatap Galih tak percaya. Bagaimana dia bisa menebak isi pikiranku dengan tepat? Apa dia cenayang?

"Gue nggak pernah ngelihat lo tertarik sama cewek sama kayak gini, Ga. Wajah lo memperlihatkan segalanya."

"Apa Liesel akan mengetahuinya juga?"

"Kecuali dia bodoh dan polos."

"Dia memang polos."

"Kalau gitu dia nggak akan mengetahuinya."

Aku tertawa. "Mungkin lo bisa mulai cari cewek juga, Lih."

"Hei, Liesel belum tentu jug nerima lo."

"Belum—tentu saja. Tapi dia pasti akan nerima gue. Tinggal menunggu waktu—"

"Lo nggak ingin mencari tahu soal dirinya? Keluarganya? Gue takut lo melangkah lebih jauh sedangkan lo—"

"Nothing happen. Semuanya akan baik-baik saja. Gue hanya ingin menikmati masa remaja gue seperti yang lainnya. Pacaran beberapa bulan lalu putus. Kalau gue dan Liesel pacaran belum tentu kita bakal selamanya kan? Mungkin yang gue rasakan hanya ketertarikan sesaat—"

"Oke oke."

Aku tersenyum. "Sekarang gue ingin bertemu Liesel—buat membicarakan festival."

TRULY DEEPLY (REVISED)Where stories live. Discover now