Chapter 10

13 0 0
                                    

—Liesel Iskan—

"Jadi kamu tinggal di apartemen?" tanya Galan dengan kening mengernyit. Aku mengangguk sambil melirik langit yang mulai hitam. Aku yakin sebentar lagi akan hujan.

Aku benci hujan. Tidak, tepatnya aku benci petir.

"Bersama orang tuamu?"

"Sendirian."

Galan menatapku lamat-lamat. Aku harap dia segera menyalakan mobilnya dan pulang. Tapi aku tidak ingin terlalu kentara kalau aku takut hujan dan petir.

"Orang tua kamu masih di Paris, ya?"

Aku menggeleng. "Bundaku sudah meninggal."

"Oh."

Aku menoleh. "Can you just drive me go home? Sebentar lagi hujan."

"Oh iya, oke." Akhirnya Galan menyalakan mobilnya, membuatku bernafas lega. Namun ketika hampir sampai gedung apartemenku, hujan turun amat deras hingga mengganggu pemandangan. Ketika sampai di gedung apartemen, mau tidak mau aku menawari Galan ke apartemen dulu. Dalam kondisi seperti ini dia tidak mungkin menyetir—terlalu beresiko.

Galan juga terlihat tidak punya pilihan lain. Akhirnya kami bersama-sama naik lift ke lantai apartemenku. Aku mengecek pesan apakah ada pesan dari Om Samuel dan ternyata memang ada. Tidak mungkin dalam satu hari dia tidak menanyakan keadaanku. Kadang Om Samuel juga kelewatan dengan mengisi penuh kulkasku dan mengirimiku makanan. Jika aku tidak menyuruhnya ke apartemenku seminggu sekali, tentu dia akan ke apartemenku setiap hari.

Aku merasa sangat canggung saat membuka pintu untuk apartemen untuk Galan. Dan ini pertama kalinya ada laki-laki berkunjung. Rasanya seperti aku anak nakal.

"Sorry, ya, Ga. Kamu jadi harus di apartemenku dulu."

Galan malah tersenyum cerah. "No problem. Apartemen kamu bagus."

"Thanks. Mau minum apa?"

"Apa aja yang ada."

"Oke."

Aku berjalan cepat ke kamar. Berganti pakaian dengan pakaian santai kemudian ke dapur menyiapkan minuman untuk Galan. Untungnya Om Samuel mengisi kulkasku—baru kali ini aku merasa bersyukur. Ketika aku tiba di ruang tamu, Galan sedang memeriksa hapenya. Ketika dia mendengar langkahku, akhirnya dia mendongak dan tersenyum. Kenapa sih dia suka sekali tersenyum? Aku jadi gugup dan tanganku gemetar.

"Makasih, Lie."

Aku mengangguk kemudian duduk di sofa. "Kamu ada kesibukan lain?"

"Aku nggak punya kesibukan apa-apa." katanya sambil menyeruput jus jeruknya.

"Kayaknya hujannya bakal lama deh."

"Aku nggak apa-apa berteduh di sini, kan?"

Aku mengangguk. "Aku yang merasa bersalah karena mengantarku kamu jadi berada di sini."

"Aku yang mengajak kamu ketemu, Liesel."

Benar juga. Aku mengangguk-angguk.

"So, jangan merasa sungkan—okay?"

Aku mengangguk. Kemudian dia mengamati rak di apartemenku. Tentu saja itu menarik perhatiannya. Rak berisi piala dan penghargaan kompetisi piano yang kudapatkan dari sejak masih kecil. Aku sudah meminta Om Samuel agar menaruhnya di kamarku saja, tapi Om Samuel tidak mau. Katanya, buat apa dapat piala kalau tidak dibanggakan. Sekarang—Galan mengamatinya aku menjadi sangat malu.

TRULY DEEPLY (REVISED)Where stories live. Discover now