(1.) Duka Untuknya

16 2 0
                                    

Hi!!




Salam sehat buat semua!!



Bukan sulap, bukan sihir
Sesederhana yang fakir
Bukan gemerlap yang terpikir
Tapi denda dari si Kikir












Cuma mau ngingetin, jangan lupa waktu ya! Karena waktu adalah hal yang paling berharga!

#thankxis

*****

(1.) Duka Untuknya

"Cerita dari Si Dia yang akan kau ceritakan pada setiap sendi yang masih dapat berfungsi."



Langit mendung yang menghiasi gelapnya malam, suram. Dinginnya suasana yang tak terpedayakan. Titik-titik air hujan yang mulai berlomba-lomba terjun ke dasar bumi. Angin yang sayup mulai bergemuruh.

"Kreeeek..."

Suara deritan gorden yang ditutup menjadi pengalun yang indah.

"Malam yang indah...bukan?" bisiknya rendah. "Ah..tentu saja," jawabnya sendiri.

Terlihat seorang gadis yang duduk bersandar pada kepala ranjang dengan memperhatikan sebuah benda yang berisikan angka-angka. Matanya yang terus terpaku, seakan ada sesuatu yang indah di dalamnya. Sesuatu yang indah tanpa syarat.

Helaan nafas panjang terdengar. Gadis itu memijit pangkal hidungnya dengan pelan. "Sudah sangat lama ternyata, bukankah waktu berjalan begitu cepat...? Sepertinya bukan..., melainkan tipu daya yang diciptakannya begitu hebat." ujarnya dengan disertai kedua ujung bibirnya yang tertarik.

*****

Pakaian serba hitam yang menjadi pengawal di sebuah pengakhiran. Bukanlah tawa atau senyum manis yang menghiasi pertemuan itu. Bukanlah kebanggaan yang mereka bicarakan. Bukanlah makan yang mereka sajikan. Bukanlah minyak wangi yang mereka semerbakan.

Namun apa? Apa yang mereka lakukan dengan pakaian hitam itu? Bukan sebuah pesta dengan ketentuan dress code?

Ah... rupanya memang bukan pesta. Hanya saja ada sebuah dekor yang menghiasi. Bunga-bunga yang mereka sajikan. Bau kemenyan dan kedukaan yang mereka sebarkan.

Benar, ini adalah sebuah acara kedukaan. Duka yang mana mereka kehilangan salah satu orang yang mereka sayangi.

Bukan lagi kebanggaan yang mereka bicarakan, namun kenangan-kenangan manis yang mereka masukan kedalam memori terdalam di jiwanya. Tawa dan senyum manis yang pernah terukir itu seakan menancapkan semangat untuk mereka yang ditinggalkan.

"Turut berduka ya Bibi. Semoga Tuhan memberikan tempat yang indah di sisi-Nya."

Terlihat disana sesosok gadis. Lengkap dengan setelan serba hitamnya. Hanya saja dia nampak yang paling berbeda, dengan kacamata berlensa coklat terang yang mendekati warna merah. Seakan dia tengah menunjukkan rasa kebahagiaan dari sebuah isyarat. Isyarat makna dari sebuah warna merah. Hakikat warna merah yang menunjukkan kegembiraan.

"Terima kasih, aamiin. Kau tahu nak, bahwa kehilangan itu sudah pasti akan terjadi? Tapi...apa kau tahu juga bahwa kehilangan tidak selamanya hilang?" ucap wanita paruh baya yang pandangan masih kosong akan kesedihan. Memangnya ibu mana yang tidak mesakan sedih ketika sang buah hati yang selama ini dia rawat dengan sepenuh hati meninggalkan dia untuk selama-lamanya?

Sang lawan bicara justru memberikan senyuman tipis, "Benar, Bibi pasti tahu rasa kehilangan yang Bibi rasakan hanya akan menghambat kebahagiaan yang selama ini dia tunggu."

"Kau tak mau melihatnya untuk terakhir kalinya nak?" tanya wanita paruh baya yang dipanggil Bibi itu.

"Tentu saja," jawabnya dengan pelan dan hati-hati.

Langkah demi langkah ia gerakkan kakinya menuju dimana orang ketiga yang tadi menjadi topik pembicaraan.

"Haii! Memang ini yang kau tunggu bukan? Membuat hati yang datar menjadi berkelok." bisiknya pelan dengan nada yang ceria, tanpa dibuat-buat.

"Ini memang hari yang aku tunggu. Hari dimana kau yang akan berakhir dibawah pusara. Pusara yang gelap." sama sekali tidak ada nada kesedihan dalam setiap ucapannya. Seakan dia adalah manusia tak berempati, yang dengan jahatnya tersenyum setelah mendengar kematian dari sang teman, ah.. mungkin dapat disebut sahabat.

Kemudian ia menatap langit-langit, seraya bergumam, "Aku berdoa, semoga setelah ini kebahagiaan akan mendatangiku, Tarisha."

Setelah itu sang gadis membalikkan badannya untuk pergi, namun tampaknya ada yang menghalangi. "Ada ya... sahabatnya yang baru aja meninggal justru meminta kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Apalagi ekspresi wajah yang tanpa menunjukkan kesedihan sama sekali." serobotnya, dari seorang gadis yang menghalangi.

Tanpa merubah ekspresi, ia menarikan senyuman, "Ingat, dalam kisahnya, penipu akan selalu benar." kemudian ia melenggang pergi begitu saja.

"Gila....!"

TBC

*****

Tetap semangat dan sehat selalu ya!

Have a nice day, dear!

Love you 💘.

03.18 [Maret 2022]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AmbrosiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang