Author POV
Mendengar suara ketukan dari pintu rumahnya membuat Jennie lantas terdiam dari kegiatannya yang tengah memakan buah. Sejenak Jennie beralih menatap ke arah Lisa. Kekasihnya itu masih sedang menonton televisi di ruang tengah.
Lalu, siapa yang mengetuk pintu?
Jennie seketika menyanggul rambut panjangnya ke atas. Mengunyah sisa potongan buah yang ada di piring, dan berjalan dengan sedikit tergesa menuju pintu depan.
Lisa tampak ikut melirik. Menatapi pergerakan Jennie yang sedang membukakan pintu.
"Astaga, mama!"
Bergegas Jennie memeluk tubuh mamanya. Sang ibu pun tertawa, balas memeluk Jennie sambil mengusap punggungnya.
"Kok lama banget bukain pintunya?"
"Aku tadi lagi di dapur, ma. Lagian mama cuma ngetuk pintu doang, ngga mencet bel. Aku kan jadi bingung, siapa yang dateng malem-malem gini, ga biasanya banget." Jennie berkata dengan antusiasnya.
Mama tersenyum. Masih setengah memeluk tubuh Jennie. Ketika Jennie mengajaknya masuk ke rumah, mama pun mengikutinya.
"Udah dua bulan kamu ga ada ke rumah, mama khawatir kamu kenapa-kenapa." Ucap mama.
"Perasaan aku udah ngabarin kok lewat whatsapp mama. Emang mama ngga baca?"
"Mama ini sibuk, sayang. Tiap hari ada terus pesanan baju yang datang. Mana sempet mau buka hp."
"Dih? Bohong banget. Paling juga chat aku tenggelem."
"Itu kamu tau."
Mama terkekeh, ia lalu mencium pucuk kepala Jennie. Anak gadis semata wayangnya.
Rasa rindunya terhadap Jennie yang tadi terbendung, kini pun mulai menyurut. Diusapnya sebentar kepala Jennie, hingga sebuah senyuman simpul tercipta di sudut bibirnya.
"Halo, mama." Lisa bersuara.
"Eh? Ada kamu juga sayang?"
Seketika mama mengalihkan pandangannya. Ia berjalan menuju ruang tengah, giliran mama memeluk Lisa. Yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.
Ketika mama dan Lisa mulai asik mengobrol, saat itulah Jennie berlalu ke dapur untuk mengambilkan minuman.
Perasaan senang awalnya menghampiri. Memang seperti kata mama, sudah lebih dari dua bulan mereka tidak ada bertatap mata. Tetapi ketika satu tangannya tengah mengaduk minuman, tiba-tiba Jennie merasa gundah.
Bukan tentang kehadiran mama. Namun, bagaimana caranya memberitahukan tentang kandungannya?
Mama bukan tanpa alasan datang ke sini, dan itu karena ia merindukan Jennie.
Hal itu tentu tak mungkin membuat Jennie akan bungkam-bungkam saja mengenai kondisinya. Apalagi mama adalah sosok yang berhati lembut. Perempuan yang sudah berusia kepala empat itu adalah mamanya. Sosok ibu yang sangat Jennie sayangi.
Jennie malah tak pernah berani mengambil suatu keputusan yang besar jika itu tidak mendapat persetujuan dari mama. Sedari awal ia menyukai Lisa pun, Jennie sudah lebih dahulu menceritakannya kepada mama.
Mama begitu berarti baginya.
Jennie menghela nafas, merasa semakin gundah.
Meski sebagian besar Jennie yakin, mama tak mungkin menghakiminya. Mama pasti akan mengerti tentang keadaannya. Mama pasti akan menerimanya. Mama pasti percaya pada apa yang dialaminya. Mama tidak mungkin membuangnya hanya karena ia berbadan dua tanpa alasan yang jelas.