3. Bayangan Di Cermin

3 0 0
                                    

Tak ada seorang pun tahu bagaimana perasaannya di hari ini. Jiwanya terkekang oleh rasa yang tak sama, yang terus bersemayam di dalam dirinya. Seakan saling tak sejalan, dan saling menikam tanpa belas kasihan. 

Di dalam kamarnya, sembari memandangi cermin berbentuk persegi panjang besar miliknya—yang terpasang dengan kokoh di dinding kamarnya—Marcapada terus bertanya kepada sisi lain di dalam dirinya. Apakah aku harus mengikuti takdir yang telah digariskan? Atau aku harus mengikuti kata hatiku yang tak sejalan? 

Pintu kamar yang sedikit terbuka tiba-tiba diketuk dari luar. Suara ketukan itu memecah kesunyian yang sedari tadi menyelimuti. Membuyarkan lamunan. 

“Apa kau akan berdiam di sana seharian?” tanpa pernah diundang, Rea datang ke kamar anaknya. Mendapati tingkah laku anak sulungnya yang terus menatap cermin dan tak lekas beranjak dari sana.

“Sudah saatnya, Marca. Semua orang telah berkumpul. Bukankah hari ini adalah hari yang kau tunggu?” 

Marca terpegun lama, memilih untuk tetap bergeming. Terasa enggan walau hanya untuk menolehkan wajahnya. Pandangannya tetap lurus ke depan. Menatap cermin. Ia malas harus meladeni ocehan perempuan separuh baya yang telah berdiri tepat di depan pintu kamarnya, mengenakan gaun panjang berwarna hitam dengan polesan makeup menyeramkan. Sebenarnya perempuan itu masih terlihat cantik meski usianya hampir memasuki kepala lima, namun bagi Marca, perempuan itu tetap menyeramkan, bagaimanapun keadaannya. 

“Aku tak pernah menunggu hari ini,” Marca menjawab pertanyaan Rea dengan suara datar. Lebih datar dari tanah makam yang telah diratakan.

Ibu? Bukan. Dia adalah perempuan yang telah hadir tanpa diundang. Dia adalah perempuan yang dengan seenaknya mengusik kehangatan sebuah keluarga. Membuat semuanya runyam. Memisahkan dua sejoli yang saling mencintai. Dia adalah racun yang membuat kehidupan Marca seakan terbelenggu oleh kegelapan yang begitu pekat, begitu menakutkan. Perempuan itu adalah mimpi buruk yang menjadi nyata. 

Di malam itu, ketika tetesan air hujan mendarat cepat ke bumi. Menimbulkan suara bising yang tak nyaman didengar. Ketika cahaya dari langit tiba-tiba memancar tanpa aba-aba, dan membawa serta suara gemuruh guntur yang membengkakkan telinga. Tatkala Marca masih menikmati masa-masa bermainnya sebagai anak-anak, orangtuanya bertengkar begitu hebatnya. Lontaran cacian dan makian terus ia dengar di setiap detik waktu yang ada. 

Marca melihat dengan mata kepalanya sendiri, ibunya tersungkur jatuh di lantai ruang keluarga rumah mereka. Menangis tersedu-sedu sambil memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan ayahnya. 

Tak seharusnya Marca melihat semua itu, namun suara bising pertengkaran mereka membuat Marca yang tengah asyik bermain di dalam kamar tiba-tiba beringsut dengan sendirinya. Membuka perlahan pintu kamar, dan dengan hati-hati mengintip dari balik pintu. 

Entah apa penyebab pertengkaran hebat itu, Marca tak pernah tahu. Yang ia tahu, setelah pertengkaran hebat di malam itu ibunya tak pernah lagi terlihat. Di pagi hari, di kala Marca terbangun dari tidurnya, ibunya sudah tak ada. Ia terus berusaha mencari, ke mana-mana, ke setiap sudut desa, ke segala tempat yang terpikirkan olehnya, berhari-hari, berbulan-bulan, tapi tak pernah sekalipun ia temukan. Ibunya hilang bagaikan ditelan bumi. Tak ada tanda, atau petunjuk apa pun. Benar-benar menghilang tanpa jejak. 

Tak lama setelah ibu Marca pergi, perempuan menyeramkan itu datang. Tersenyum manis menatap Marca. Senyuman itu seakan tulus membawa kebahagiaan dan kedamaian ikut serta dengannya. Semua orang merasakannya. Mereka bersikap hangat, menyambut perempuan itu bak juru selamat. Namun dari banyaknya orang yang menyambut Rea, hanya Marca yang bersikap berbeda. Baginya, senyuman Rea adalah awal mula dari semua kegelapan yang akan terus menghantui kehidupannya. 

Segitiga Penguasa - Sudut PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang