6. Putus!

15 4 0
                                    

Baru beberapa menit merebahkan kembali tubuh ini, aku sudah bangun lagi. Mengembuskan napas, kusingkap selimut dan turun dari ranjang. Aku berdecak memandang pria itu. Sungguh aku tidak habis pikir, dia benar-benar masih lelap.

Rasa tidak tega membiarkannya tidur di bawah sana membuatku akhirnya memutuskan untuk membangunkannya. Berjongkok di sampingnya, kutekan-tekan lengannya dengan telunjuk.

Sadar dia mungkin tidak akan bangun hanya dengan itu, akhirnya aku memutuskan untuk melakukan sesuatu. "Kebakaran! Kebakaran!" teriakku di dekat telinganya.

"Hah?" Berhasil, Ardiyas langsung bangun dan duduk dengan wajah kaget. Pria itu sedikit pias, lalu tanpa kuduga langsung menarik tanganku.

"Hei!" Aku yang kaget berusaha menahannya, tetapi dia lebih kuat dan tanpa bisa dicegah membawaku berlari menuruni lantai dua.

Saat sampai di lantai bawah, aku berhenti dengan napas tidak beraturan. Sadar akan hal itu, Ardiyas pun memandangku.

"Kita harus cepat, Say. Saya gak mau kamu kenapa-napa!"

Deg!

Hatiku dirundung rasa bersalah. Aku mematung seketika.

"Ayo, selamatkan diri dulu!"

"M-mas ...." Bisa kurasakan getar di bibirku. Bagaimana ini, dia menanggapinya dengan serius.

"Ada apa?"

"Itu ... anu ... gak ada ... kebakaran kok." Aku menunduk meremas jari-jemari dengan resah. "Itu ... aku ... cuma becanda," cicitku benar-benar takut.

Kulirik pria itu, dia baru saja menghela napas dengan penuh kelegaan.

"Syukurlah!" ujarnya, tapi kemudian menatapku sangat amat tajam. "Tapi becandamu itu gak lucu, Say."

"Iya, maaf." Aku menunduk lagi.

"Jangan diulangi lagi!"

"Iya, tadi itu karena aku kesel Mas Diyas gak bangun-bangun," ujarku membela diri.

Pria itu tampak menaikkan sebelah alis. "Memangnya ada apa? Kamu butuh sesuatu?"

Aku melipat bibir. Haruskah kukatakan aku tidak sengaja membuatnya jatuh dari ranjang? Tapi pasti dia akan menatap tajam lagi.

"Emm ... Mas Diyas jatuh dari ranjang." Aku mencicit, menunduk lagi.

"Hah? Kok bisa? Perasaan saya kalau tidur anteng kok," gumamnya dengan wajah yang tampak memerah. Apakah dia sedang malu?

"Anteng apanya, kalau anteng gak mungkin meluk-meluk aku."

Aku segera membekap bibir ketika tanpa sadar kalimat itu telah keluar dari mulut. Astaga! Bodoh sekali kamu Sayna!

Ardiyas memicingkan mata. "Saya meluk kamu?"

Aku melengos, membuang muka.

"Masa sih? Gak mungkin lah, orang saya tidurnya di tepi sekali."

Aku memberengut.

"Atau jangan-jangan kamu yang sengaja ngedeketin saya biar dipeluk?"

Melotot dong aku, enak saja main tuduh begitu.

"Dih, mimpi!" elakku galak, rasa bersalah tadi sudah menguap berganti kesal. "Udahlah, aku mau lanjut tidur. Ngantuk!"

Tanpa menunggu aku lantas meninggalkannya menuju lantai dua, sesampainya di atas, aku baru sadar jika Ardiyas tidak ada di belakang.

Kemana tuh orang?

Yasudah lah, kunci aja biar dia tidur di luar. Siapa suruh nuduh-nuduh sembarangan! Padahal jelas-jelas dia yang meluk duluan.

SAUDARA TAPI NIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang