5. Istana dan Teman Baru

18 4 1
                                    

Sesuai janjinya kemarin, setelah makan siang kami sudah berada di rumah yang Ardiyas sebutkan. Rumah minimalis dua lantai yang berada di sebuah kompleks asri, hanya berjarak 30 menit dari kediaman orang tuanya. Ardiyas memilih bangunan di daerah ini dengan alasan lebih dekat dari kantor. 

"Entah rumah ini sesuai seleramu atau bukan, tapi saya harap kamu akan nyaman," ucap Ardiyas ketika aku masih asyik memandangi sekeliling bangunan.

Bagaimana mungkin tidak akan nyaman, rumah ini jauh lebih besar dan bagus dari pada rumahku sebelumnya. Walau kenyamanannya tidak akan sama karena di sana ada dua malaikat penyejuk hati menghuni. Sedangkan di sini hanya ada aku dan Si Bujang Lapuk itu. 

"Setiap pagi sampai sore, akan ada asisten rumah tangga yang datang mengerjakan segalanya," tutur Ardiyas, setelah kami sudah masuk ke dalam. 

"Lalu, bagaimana dengan aku? Apa yang harus kukerjakan kalau begitu?" Kupandang pria yang juga sedang menatapku itu. 

"Tidak ada. Kamu bisa santai." 

Aku mengerutkan kening. "Mana mungkin aku santai? Udah numpang di rumah sebagus ini, masa gak ngapa-ngapain?" 

Heran, kenapa dia malah mengembuskan napas dan memijat pelipisnya. "Kamu lupa, kita suami istri. Jadi, tidak ada kata 'numpang' di sini. Rumah ini bukan hanya rumah saya, tapi rumah kita," ujarnya dengan pandangan serius. 

Aku sedikit meringis ketika ia menyebut kata 'rumah kita', serasa aneh di telinga. Aku merasa sungguh belum terbiasa dengan ini semua. 

"Ya kalau begitu, aku boleh dong membabu sesekali. Kan, bosen juga kalo gak ngapa-ngapain," protesku, dengan bibir manyun. 

"Ya tidak masalah. Asal kamu tidak menyebut kata 'babu'. Saya menikahi kamu untuk dijadikan pendamping, bukan pembantu!" 

Hari ini, pria itu cukup aneh. Dia lebih banyak diam dan tampak serius. Entah kemana perangainya kemarin yang sering sekali menjailiku.

Ardiyas kembali menghela napas, seolah ada beban yang begitu berat mengganggunya. "Sepertinya kita harus bicara. Meski mungkin ini sudah agak terlambat. Karena seharusnya kita membicarakannya sebelum memutuskan menerima pernikahan." 

Aku mengerutkan dahi. "Tentang ... apa?"

"Kita." Jawaban yang begitu singkat dan sorot mata yang seolah memerangkap. "Apa arti sebuah pernikahan untukmu, Say?"

Berdecak, aku melotot kepadanya. "Sudah kubilang, jangan panggil aku begitu!" 

Giliran dia yang berdecak. "Kita sedang serius, bisa tidak protesnya nanti saja?" kelakarnya tampak jengah. 

Aku memanyunkan bibir, lalu mulai berpikir. "Hm ... arti pernikahan?" Aku mengindikkan bahu.

"Entahlah, aku tidak tahu. Semua ini terlalu cepat menurutku. Bahkan dalam daftar keinginanku, menikah adalah nomor sekian. Selama ini yang kupikirkan hanya kebahagiaan orang tuaku. Begitulah aku menjalani hidup, mereka selalu menjadi prioritas utama bagiku." 

Pria itu tampak serius mendengarkan. "Saat tahu pernikahanku adalah kebahagiaan sesungguhnya untuk mereka, aku pun bersedia menerimanya. Meski aku tidak tahu, apakah keputusan yang kuambil ini sudah benar atau tidak," pungkasku, mengakhirinya dengan mengempaskan punggung pada sandaran sofa. 

"Baiklah, setelah mendengarnya ... saya sudah dapat menebak karaktermu seperti apa." Ardiyas tersenyum tipis, lalu mengubah posisi duduknya agak condong ke arahku. "Karena kita berdua sudah telanjur menerimanya ... yang perlu kita lakukan adalah menjalaninya. Kita lihat, apakah keputusan yang kita buat sudah tepat atau tidak? Oleh karena itu, mari kita mulai semuanya dari status teman, bagaimana?" 

SAUDARA TAPI NIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang