13. Insiden Masa Lalu

26 4 1
                                    

"Dari ceritamu, rumahmu pasti bagus banget."

"Bukan rumahku, lebih tepatnya rumah suamiku."

Aku melarat ucapan Diana, wanita berbadan dua yang merupakan satu-satunya sahabatku. Panggilan video darinya sedikit bisa mengusir jenuh dan sepi.

Terhitung sudah hampir dua minggu usia pernikahan kami. Mas Ardiyas sudah mulai aktif ke kantor sejak beberapa hari yang lalu. Seiring dengan aku yang juga mulai aktif dan mencoba untuk terbiasa memanggilnya dengan embel-embel 'Mas', biar lebih sopan.

Terakhir kali aku memanggil namanya dengan lantang, Tante Tami yang tidak sengaja mendengar, menceramahiku habis-habisan.

Suer, aku kapok!

"Yaelah. Rumah suami, ya rumahmu juga. Kan udah nikah." Diana tampak gemas.

"Iya, tapi dia kan belinya sebelum nikah, gak enak aja kalau aku yang dulunya cuma orang asing tiba-tiba ikut mengklaim rumah ini."

"Hmm. Terserah deh. Semaumu aja mau mikir gimana. Ngomong-ngomong ... ranjang di belakangmu keliatan mewah banget, kayak ranjang sultan. Ngeliatnya aja jadi bikin aku kepengen tukeran suami."

Aku melirik sekilas pada ranjang yang ia sebutkan. Suara cekikan Diana terdengar seperti tawa Mbak Kunti. Tidak ada merdunya sama sekali.

"Kasian banget suamimu punya istri agak-agak, padahal dia cukup tampan. Walaupun ketampanannya kalah jauh sama suamiku."

Diana terkekeh. Sementara aku sedang berdoa semoga Mas Ardiyas tidak akan bersin-bersin di kantor. Supaya dia tidak sadar baru saja jadi topik pembicaraan. Apalagi kalau dia sempat dengar aku memuji, bisa habis deh digoda terus-terusan.

"Ingat anak, Di!"

"Astaga, amit-amit. Maaf ya, Nak. Ibu tadi cuma becanda, kok. Gak mungkin Ibu bakal tuker bapak kamu. Walaupun kentutnya bau, Ibu tetap cinta kok."

Aku menahan tawa melihat wajah panik Diana yang bercakap-cakap dengan sesemakhluk dalam perutnya. Sebelah tangannya tampak mengelus bagian permukaan perut yang dilapisi daster maroon motif bunga-bunga. Perbedaan sebelum dan sesudah mengandung terlihat sekali. Selain perutnya yang membuncit, Diana tampak lebih berisi di bagian-bagian tertentu. Terutama dada. Dulu, perempuan itu terkenal dengan tubuhnya yang ceking dan ... rata. Orang-orang sering memanggilnya 'kutilang dara'. Kurus tinggi dada rata.

Tanpa sadar, aku terkekeh mengingat momen-momen ketika kami masih belia. Tidak terasa, kini kami telah memulai kehidupan baru yang semoga bermuara pada sakinah mawadah warahmah.

"Anakku nendang, kayaknya dia marah banget bapaknya mau ditukar."

Aku meringis mendengarnya. Tanpa sadar tanganku bergerak sendiri mengelus perut. Saat sadar, aku berdecak dan menggelengkan kepala.

Ngapain sih?

"Anakmu mungkin cita-citanya jadi pemain sepak bola."

"Bisa jadi deh, Na. Soalnya bapaknya suka ngajakin aku begadang nonton bola. Sejak itu anakku mulai aktif dan nendang-nendang. Apa dia juga ikut nonton kali ya?"

Kulipat bibir menahan tawa. Ada-ada saja pemikirannya.

"Aduh, gimana dong, Na? Anakku kan cewek, kalau nanti tiba-tiba lahirnya cowok gimana? Mana aku siapinnya baju-baju cewek semua." Diana menggigit kukunya resah.

"Gampang!" kataku sembari membawa ponsel menuju ranjang, lalu menghempaskan diri di sana. "Tinggal jual anaknya terus beli baju-baju baru."

"Heh! Kurang ajar kamu, ya! Bikinnya susah tau!"

SAUDARA TAPI NIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang