14. Hantu Perawan

34 4 1
                                    

Baru satu detik kuletakkan ponsel dan kembali memandang layar laptop, denting pesan masuk membuatku urung untuk melanjutkan cerita baru yang sedang kutulis. Sembari mengisi waktu luang dan membuang kebosanan, aku mulai kembali aktif menulis.

“Apa pun yang kamu masak, pasti saya makan.”

Begitu isi pesan masuk dari kontak Mas Ardiyas.

Aku mencibir, tetapi anehnya bibirku justru melengkung membentuk senyuman.

“Tapi malam ini gak usah masak. Kita makan di luar saja.”

Pesan baru menyusul kemudian.

___

Pukul 19.30, acara makan malam di luar gagal total. Dua tamu tak diundang datang dengan alasan cuma mampir sebentar. Namun kenyataannya, hingga hampir satu jam lewat si kembar judes itu masih belum pulang. Bukannya aku merasa keberatan mereka datang, hanya saja perutku sudah keroncongan sejak 15 menit yang lalu. Karena sore tadi, aku cuma makan camilan sebagai pengganjal perut.

"Mau makan apa?" Mas Ardiyas tiba-tiba berbisik. "Kita pesan di gofud aja. Kayaknya mereka masih lama di sini."

"Yaudah. Aku pesen nasi uduk, sama pecel lele, ya." Aku ikut berbisik. Sementara dua si kembar itu menatap kami dengan kening mengernyit.

"Lagi bisik-bisik apa sih?" Riana bertanya.

"Iya. Mbak Sayna gak suka ya, kalau kita main ke sini?" Reana menuding dengan mata menyipit.

Astaga, suuzan banget jadi ipar!

"Kalian ini!" Mas Ardiyas menggelengkan kepala, mungkin ia juga tidak habis pikir dengan isi kepala adik-adiknya. "Kita mau pesan makan. Tadinya mau makan di luar, tapi berhubung ada gangguan, makanya gak jadi."

Wajah si kembar berubah masam. Mungkin sebal karena baru saja disebut sebagai gangguan.

"Kalian udah makan?" Pria itu sudah tampak sibuk dengan ponsel dalam genggaman, mengabaikan raut wajah kedua adiknya. "Kalau belum, biar sekalian mas pesankan."

"Gak usah, Mas. Kita mau pulang sekarang." Reana menatapku sengit. Salahku apa coba?

"Serius gak mau ikut makan di sini?"

"Iya. Kita pulang aja. Kan, kita ini cuma gangguan, ya gak, Ri?"

Mas Ardiyas mengalihkan pandangan dari ponsel, menatap adiknya, kemudian terkekeh.

"Lagi PMS ya, Re?"

Dari nada suaranya, jelas aku bisa tahu bahwa Mas Ardiyas sedang mengejek Reana.

"Baiknya makan dulu, baru pulang," ujarku menginterupsi. Niatnya mau menengahi, karena tampaknya Mas Ardiyas tidak peka bahwa adiknya sudah kesal. Namun yang ada justru malah mendapatkan tatapan lebih tajam dari si kembar.

Salah mulu deh perasaan!

"Iya. Nanti habis balik dari sini pada kelaparan, bisa-bisa dikira gak dikasih makan," ucap Mas Ardiyas dengan nada santai, berniat bercanda mungkin.

"Kita pulang aja, Mas. Udah ditanyain mama." Riana menyela, sembari menunjukkan pesan dari Mama.

"Emang kalian gak bilang kalau mau main ke sini?"

"Bilang kok. Mama aja yang cerewet, bilang jangan ganggu manten baru." Riana menyimpan kembali ponsel ke dalam tas.

"Makanya kita pulang aja, biar gak pada ngomong kita ini pengganggu." Reana yang bicara.

"Yaudah kalau gitu. Jangan tersinggung, mas bilang seperti itu buat kebaikan kalian juga, kok." Mas Ardiyas tersenyum.

Kebaikan yang bagaimana maksudnya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SAUDARA TAPI NIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang