12. Dua-Satu

16 4 1
                                    

"Sudah di sini aja, Na." 

"Iya, Ma. Aku jarang tidur setelah subuh soalnya." 

Mama ikut duduk di sampingku. Pukul 06.30 WIB, masih terlalu pagi untuk berleha-leha di gajebo yang tadi malam kami jadikan sebagai tempat berkumpul. Biasanya, saat masih tinggal dengan Bapak-Ibu, sepagi ini aku sudah akan membantu di dapur atau juga sedang disuruh membuka grosir. Namun semua kebiasaan itu lantas berubah setelah menikah. Jangankan menyentuh sapu, bahkan sekadar memasak saja rasanya susah. Semua sudah serba ada yang menyiapkan. Terlebih di rumah mertua, beberapa asisten—yang tidak pernah kuhitung jumlahnya—sudah siap siaga mengurus segala keperluan. Aku tidak diperbolehkan turun langsung ke dapur, melakukan pekerjaan apa pun di rumah ini tidak diwajibkan. 

Oh, sungguh nikmat mana lagi yang kau dustakan, Sayna! 

"Gimana, betah tinggal berdua sama Mas Diyas?" 

Aku memandang Mama sejenak, lalu mengangguk dengan senyuman. Jawabanku bukan bualan semata, meski agak menyebalkan, Ardiyas tidak pernah sekalipun membuatku tertekan. Ia membuat segalanya berjalan tanpa adanya paksaan. 

"Syukurlah. Mama agak takut kamu gak kerasan." Wanita yang masih cantik di usianya itu tersenyum lega. "Kalau Mas Diyas nakal lapor sama mama, ya. Segalak-galaknya Mas Diyas, dia paling takut sama mama." 

"Oh ya? Masa sih, Ma?"

"Iya. Dulu banget, waktu masih SD kalau gak salah. Mas Diyas itu bandel banget, disuruh sekolah sering males-malesan. Bikin banyak alasan supaya gak berangkat. Udah dimarahin sama Papa, tapi gak pernah didengarin. Sampai suatu waktu, mama yang udah capek sama sikapnya ... pura-pura marah. Mama ngancam kalau Mas Diyas masih begitu, akan mama tinggal. Mama bilang, mama gak suka punya anak bandel kayak begitu," ujar Mama, kemudian terkekeh. Mungkin merasa geli ketika ingatan tentang bocah bandel itu terlintas lagi. 

"Kamu tau apa yang Mas Diyas bilang waktu itu?" 

"Apa, Ma?" tanyaku antusias. 

"Mas Diyas bilang gini ... jangan! Jangan tinggalin Mas Diyas! Kalau Mama pergi, siapa yang bakal sayang sama Mas Diyas! Cuma Mama yang sayang Mas Diyas. Papa sayangnya Adek Gara, bukan mas!" Lagi-lagi Mama berusaha menahan tawa. 

"Dia nangis kejer, nahan-nahan mama. Sampai gak sadar, ingusnya udah hampir masuk mulut." 

Aku tergelak, bayangan bocah ingusan yang sedang merengek menahan kaki ibunya terlintas di benak. Ditambah suara Mama yang dibuat layaknya suara anak kecil semakin membuatku geli.

Tawa itu berlangsung beberapa detik. Sampai akhirnya ....

"Ehm." Ardiyas tau-tau sudah di belakang kami. "Jangan merusak citra putra sendiri dong, Ma," keluhnya.

Mama terkekeh. "Lho, memangnya mama bilang apa? Mama cuma cerita tentang bocah ingusan yang dulunya bandel banget. Iya kan, Sayna?" 

Aku mengangguk. "Iya, Ma. Bener-bener itu bocah, masih kecil udah bengal," sahutku memanasi. 

Ardiyas berdecak dengan wajah ditekuk. 

"Ya sudah, mama masuk dulu ke dalam. Kalian ngapain kek, joging atau ngapain. Biar gak bosan." Mama lekas berdiri. "Jangan nakal-nakal ya sama mantu mama," ujar Mama, memberi tatapan galak pada Ardiyas.

"Gimana mau nakal-nakal, nyentuh gunu—" Tatapan maut yang kulayangkan berhasil membuat Ardiyas urung melanjutkan ucapan nyelenehnya. 

"Nyentuh apa?" 

"Gak ada kok. Mungkin Mas Diyas laper," sahutku. 

"Oooh. Mama ke dalam, ya. Sarapannya sebentar lagi juga siap." 

SAUDARA TAPI NIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang