✥ 2 ✥

9 3 2
                                    

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Pada kenyataannya, kesetiaan selalu membutakan walaupun yang di depan mata sudah menjelaskan fakta menyakitkan.

▼△▼△▼△▼△

Sekarang malam hari di hari minggu. Setelah melaksanakan shalat magrib dan shalat isya di mesjid, sebagian anggota keluarga Bapak Sutisna berkumpul di tengah rumah. Seperti biasa, mereka akan menghabiskan waktu menunggu kantuk datang dengan menonton chanel televisi bersama-sama dengan chanel yang ditonton disesuaikan oleh Bapak yang selaku kepala rumah tangga dan pengisi rumah tertua. Sebenarnya, bisa saja mereka berada di kamar masing-masing dan sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Tetapi, dulu Rian pernah melihat bapak melamun sendirian dikala anak-anaknya sibuk dengan kegiatan mereka. Maka dari itu, Rian berinisiatif kepada adik-adiknya agar mereka bisa menunggu rasa kantuk mereka di ruang tengah bersama bapak sehingga bapak tidak melamun sendirian lagi.

Kini, mereka sedang menonton berita yang memberitahukan bahwa harga cabai sedang mengalami kenaikan harga secara terus menerus setiap harinya. Padahal 'kan jika kita pikir kita adalah warga Indonesia, Indonesia adalah negeri yang subur. Tetapi, mengapa cabai yang notabenenya mudah tumbuh di negeri ini malah langka?

Si bungsu yang sedang mengemil kripik pisang gosong hasil karya Attana dan Gathan di hari sabtu pun bersuara,
"Makannya, kalau gak mau cabe langka, jangan suka makan pedes kayak Biru."

"Ya itu prinsip elu, orang lain kalau gak makan pedes kagak hidup, Ru," Sahut Nanda yang duduk di samping Biru sambil mengemil coki-coki tanpa memberikan sedikitpun isinya pada orang lain.

Biru pun langsung menengok pada Bapak yang kini duduk di atas kursi. Dari raut wajahnya, ia meminta pembelaan dari Bapak agar argumennya tidak terpatahkan oleh si pintar Nanda. "Bapaakk," Rengeknya pada bapak.

"Nanda betul, Biru, enggak semua orang gak suka pedes, dan harga cabe naik itu 'kan bukan cuma karena konsumsi cabe yang banyak, tapi karena kegagalan panen para petani juga sangat berpengaruh."

"Tapi kalau gak ada yang makan cabe pasti cabe gak langka, bapak." Biru tetap tidak mau kalah.

"Kalau begitu, kasian para petani cabe, Biru. Soalnya barang dagangan mereka jadi tidak laku." Terang Bapak.

"Tau bocil batu bener!" Attana menyindir.

"Apa sih, abang?" Biru balas memberikan raut wajah tidak suka pada abangnya tersebut.

"Nih ketek!" Attana mengusapkan telapak tangannya pada salah satu ketek yang kebetulan sekali belum ia cukur bulunya lalu menempelkan nya pada pipi si bungsu.

"ABANNGGG!!" Jelas, si bungsu berteriak dan mulai terjadi kegaduhan lagi di rumah.

"Wangi, gak, dek?" Attana kegirangan. Detik itu juga air mata si bungsu mengalir begitu saja. Ia menangis.

"Ihhh  jerenges pisaann!!" Attana mencubit pipi Biru gemas. Lagian, kenapa adiknya ini sangat cengeng sekali? Attana malah semakin suka jika orang yang ia jahili itu menangis.

"GAK STERIL ABAAANNGGG!!"

"Bang 'kok botrok banget, sih?" Nanda tampak menatap jijik pada abangnya.

"Mau juga?" Attana mengasongkan tangannya yang sudah ia lapisan dengan wangi keteknya yang melebihi minyak jelantah tersebut.

"KAGAAKK!" Tolak Nanda keras-keras. Attana pun terbahak. "Yaudah, lo, mau juga gak, Na?" Tanya Atta pada Nares yang sudah menatap Atta jijik dari tadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

VertikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang