4

7 3 0
                                    

"Kita abis ini kemana?" tanya Daren sambil menatap punggung gadis itu dari belakang.

Langkah Dara terhenti, begitupun juga Daren. Gadis itu berbalik dan menatap 'senior'nya ini. "Oh iya, kalo jadi hantu gini bisa tidur gak sih?" kedua alis gadis itu menyatu bingung.

Daren menggeleng. "Enggak."

Dara manggut-manggut seraya melirik ke arah lain untuk berpikir. "Gue mau balik ke rumah ah. Anterin dong pake terbang!" pintanya sambil menggoyangkan tangan Daren.

Sedetik kemudian, Daren menggenggam tangan Dara tanpa sepatah kata lalu membawa gadis itu terbang. Ditengah perjalanan, Dara melirik sosok Daren yang pucat pasi itu sambil berpikir apa yang menyebabkan dia mati. Apakah pemuda ini juga dibunuh seperti dirinya? Kenapa dia tetap di sini?

Pertanyaan itu membuat Dara akhirnya membuka mulut. "Diem aja, biasanya marah-marah sambil toxic," sindir Dara meledek, sekalian basa-basi.

"Gak mood," singkat pemuda itu ketus.

Dara berdecih setengah tertawa. "Gue baru liat ada hantu modelan gini, haha." seraya melirik sudut wajah Daren, memastikan apakah pemuda itu ikut tertawa atau tidak.

Tampak pipi Daren naik sedikit, berarti dia tersenyum, hal itu membuat Dara langsung bertanya. "Em...by the way, penyebab lo meninggal apa?"

Daren langsung menoleh lalu kembali menatap kedepan. "Setahun yang lalu gue sakit cukup keras, waktu itu gue meninggal dirumah sakit karena gagal operasi..."

Mendengar itu Dara mengangkat alisnya dan mengangguk.

"...masih kedengeran jelas suara tangis mereka waktu itu, sementara gue cuma bisa diam di pojok ruangan sambil ngeliatin mereka

"Ren! Daren! Bangun nak!!" teriak seorang wanita sambil menggoncangkan tubuh anaknya yang mendingin.

Begitupun juga dengan pria agak tua yang menjambak dirinya sendiri karena frustasi. "Daren, jangan pergi, ayah sayang kamu!"

"Darenn!"

"Darenn bangun nak!"

"Daren!"

Gue takut, gue gak ngerti apa yang terjadi sama gue. Gue bingung gue harus apa setelah ngeliat diri gue sendiri yang udah pucat," jelas Daren panjang lebar sambil membayangkan suasana mengerikan waktu itu.

Dara merengut. "Tunggu, setahun yang lalu?"

"Iya."

Gadis itu menahan tangannya agar Daren berhenti dan berbicara dahulu. "Kenapa lo masih di sini? Bukannya lo bilang kalau nanti kita bakal ke langit setelah tiga puluh hari? Kenapa lo selama itu?" tanya Dara bertubi-tubi.

Mendengar itu Daren menunduk dan mengangkat kedua bahunya. "Gak tau, mungkin langit pun nolak gue," jawabnya ambigu.

Pernyataan itu membuat Dara semakin merengut heran. "Maksud lo apa sih Ren? Ngomong jangan ngang ngong ngang ngong gitu dong, sekalian yang jelas!" omel Dara sambil menggoncangkan bahu Daren.

Dia mengacak rambutnya sendiri kesal. "Gue tuh anak pungut Ra! Gue dibuang, gue diadopsi sama dua orang baik itu!--" perkataan pemuda itu terhenti ketika melihat Dara terkejut dengan suaranya.

"...dari awal gue cuma ngerasa semuanya nolak gue Ra. Gue...gue cuma takut penolakan lagi," suara yang bergetar itu pun terhenti lagi ketika Dara memeluknya.

"Tenang tenang, biar lo gak ngerasa sendiri mulai sekarang gue bakal jadi temen lo," ucapnya sambil mengelus punggung Daren.

Daren terdiam sampai dua detik kemudian gadis itu melepas pelukannya. Tampak gadis bodoh ini hanya tersenyum polos tanpa beban, padahal jika dibandingkan seharusnya dia jadi hantu yang lebih tempramental dibanding Daren karena penyebab kematiannya yang dibunuh begitu saja.

"Dari awal lo itu udah jadi temen gue Ra, cuma lo gak sadar aja," ujar Daren tiba-tiba sambil menatap ke arah lain. Gengsi.

"Jadi bener lo udah ngikutin gue dari lama? Ngapain coba ih, stalker, nyeremin banget," celetuk Dara memundurkan badannya seraya merengut.

Daren terkikik. "Gue sering liat lo naber pas jam pelajaran, abis itu so-soan ngedeketin Rifki si cupu itu. Selera lo jelek banget sih Ra? Gak ada cowok lain apa? Haha!" cerocos pemuda itu meledek Dara lalu tertawa lantang.

"Kurang ajar lo ya, masih aja dibahas! Dia tuh pelampiasan doang, kalo dapet ya bonus, kalo enggak ya bodoamat," ujar Dara terang terangan sambil cemberut.

Daren mengangguk 'percaya'. "Ooohh gituu," ledeknya mengangkat kedua alisnya.

Dara merengut. "Ihh apa sihh?!" sambil memukul lengan Daren kesal.

"Hahaha!"

"Diem ga?"

~•~

Dara's POV

Aku dan Daren berhenti di depan rumah. Terlihat masih ada beberapa tetangga dan saudara yang menemani Mama yang masih menangis sesegukan, meraung-raungi fotoku yang waktu masih anak-anak. Aku melepaskan tanganku dari tangan Daren, dan kembali masuk ke dalam untuk kedua kalinya setelah aku mati.

Sengaja aku melirik ekspresi Papa, aku ingin sekali melihat wajah penyesalan darinya, tapi tampaknya sulit. Beda dengan Mama yang mungkin menyesal waktu itu sering memarahiku atas kesalahan yang tidak aku buat.

Aku pun juga memeriksa setiap ekspresi setiap orang di sana. Tetanggaku yang sering membicarakan hal buruk tentang aku ke orang-orang. Paman dan Tanteku yang sering mengomentari aku dan membandingkan aku dengan anak mereka. Mata mereka tampak memerah, entah karena menyesal atau karena begitu sulitnya mengakui bahwa mereka pernah melukai hati orang yang ada di bingkai foto itu.

Air mataku berlinang, aku masih sedikit membenci mereka, aku juga kasihan melihat Mama yang bolak balik pingsan atas kepergianku.

Tiba-tiba, Daren memegang bahuku. "Ra kenapa?" tanya dia.

Aku hanya menggeleng lalu melangkah maju. Semuanya tembus dariku, tetap memandangi wajah mereka semua satu persatu. Lalu berjalan menuju kamarku yang masih begitu sama. Aku masuk ke dalam, diikuti Daren dari belakang yang melihat-lihat isi rumahku.

Tiba-tiba suara teriakan terdengar nyaring dari luar. Aku menoleh ke belakang, tampak Mama yang kembali pingsan setengah sadar sambil memanggil-manggil namaku.

"Daraa~ Daraa!!!" lirih Mama terdengar tidak bertenaga.

"Coba gotong ke kamar anaknya aja!" saran tetanggaku yang sudah nenek-nenek itu.

Semua orang di sana berusaha menggotong Mama, begitupun juga Papa yang tampak kerepotan atas itu. Ketika semuanya menghampiri ke arah kami, Daren mundur menembus tembok sementara aku makin masuk kepojok kamar agar bisa melihat semua.

"Ah ribet banget sih," celetuk Papa pelan, mungkin hanya aku dan Daren yang dengar.

Aku merengut sementara Daren menoleh ke arahku kaget. Aku menatap Papa nanar, ternyata dia masih saja sama bahkan ketika aku sudah pergi.

Ternyata memang tidak sepenting itu aku baginya.

































To be continue

Pagi-pagi buta gini kebangun, jadi upnya jam segini deh.

Btw nanti ini bakal direvisi lagi, jadi niatnya mau upload dulu soalnya gabut dan juga masih ngantuk banget buat nulis rapi", jadi nanti dulu deh yaaa, hehe :)

Oiya vote jangan lupa

*edit: udah direvisi :)











.

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang