Rumit

10 4 0
                                    


Rasa bersalah terus menerus menghantui pikiranku. Entah memang aku yang salah atau memang kejadian kemarin sudah seharusnya terjadi. Namun tetap saja, rasanya aku lah yang membuat Zahra terbaring tak berdaya seperti sekarang.

Andai saja waktu itu aku berlari secepat kilat untuk mengambilkan payung. Andai saja aku tidak memberikan payung kepada Yusuf dan tidak sok sok an galau berjalan di tengah hujan. Pasti Zahra tidak akan kehujanan dan dia tidak akan terbaring tak berdaya seperti ini sekarang.

Aku menyesali hari kemarin, namun apa daya, hari itu sudah berlalu. Aku tidak dapat memutar waktu dan mengulang kejadian itu.

Jujur saja, sebenarnya aku tidak mau menyalahkan diriku sendiri seperti ini, namun entah mengapa rasa bersalah terus menerus menghajar pikiranku.

“Zahra! Zahra!” Seorang perempuan bernama Jihan Amalia masuk ke UKS dengan langkah gesit serta wajahnya yang panik.

“Aku disini Han,” ucap Zahra dengan suara yang terdengar sangat lemas.

“Zahra, kamu gak apa-apa kan? Pulang aja ya, aku anter,” Ucap Jihan sambil mendekati Zahra yang mungkin sekarang sedang berbaring di ranjang UKS yang ditutupi gorden biru yang berada tepat diseberang ranjang yang aku dan Yusuf duduki sekarang.

Ranjang yang sedang aku dan Yusuf tempati sekarang tidak ditutupi oleh gorden, sehingga kami dapat melihat dengan jelas kalau yang masuk itu Jihan. Kulihat rasa khawatir yang begitu hebat tersirat di wajah Jihan.

“Gak apa Han, aku disini aja. Di rumah gak ada siapa-siapa,”

“Kalian piket UKS hari ini?” Tanya Jihan. Ia hanya memunculkan kepalanya dibalik gorden sambil menatap tajam diriku dan Yusuf yang berada di seberangnya.

Di sekolah kami, seluruh murid akan mendapatkan tugas piket UKS setidaknya 3 bulan sekali. Entah siapa oknum yang tidak menjalankan kewajibannya hari ini untuk menjaga UKS.

“Enggak Han, kebetulan tadi kita ada di UKS. Tadi aku kurang enak badan makanya ke UKS,” jelasku.

“Oh gitu. Terus yang piketnya kemana?” Tanya Jihan sambil melirik setiap sudut ruang UKS untuk mencari apakah ada orang selain aku, Yusuf, dan Zahra.

“Gak tau,” jawabku singkat.

“Hish,” Jihan terlihat kesal lalu menarik kembali kepalanya sehingga aku dan Yusuf tidak dapat melihat dirinya.

Jihan adalah teman sekelasku, aku mengenal dia secara spesifik. Aku tau detail bagaimana sifat juga tingkah laku dia. Kudengar dari segilintir orang bahwa Jihan menyukaiku. Entah apa yang ia sukai dari diriku yang mempunyai banyak kekurangan ini. Mungkin dia menyukai satu kelebihanku, yakni wajah tampan yang mirip Ari Irham. Haha becanda.

Ternyata Jihan berteman baik dengan Zahra, aku sangat menyayangkan itu. Karena apa? Karena itu akan membuat Zahra tidak akan pernah menyukaiku selama Jihan masih menyukaiku. Aku tau perempuan tidak akan setega itu, mereka tidak akan menyukai seseorang yang disukai temannya sendiri, kecuali dia adalah teman yang tak tau diri. Memang rumit, tapi perasaanku kepada Zahra tidak dapat dihindarkan.

Normal bukan ketika seorang remaja sepertiku merasakan jatuh cinta? Tapi aku bingung, aku bingung bagaimana cara mengendalikan perasaan yang seperti ini. Apakah aku harus mengejar dia atau aku harus  membiarkan perasaanku padanya mengalir begitu saja?

Layaknya daun yang dibiarkan mengalir di air, daun itu tidak tau akan mengalir kemana, ia hanya mengikuti arus air saja. Daun itu tidak tau ia akan terus mengalir bersama air atau justru malah berhenti dan tersangkut bahkan hancur melebur karena diterjang hebatnya arus air. Begitu juga perasaanku, jika perasaanku dibiarkan mengalir begitu saja, aku tidak tau akan dibawa kemana perasaanku ini? Apakah perasaanku ini akan berakhir menyenangkan, atau ternyata hanya akan meninggalkan rasa sakit yang menyesakkan? Yang akhirnya hanya membuat hatiku hancur.

Maka dari itu, mau bagaimanapun aku harus bisa mengendalikan perasaanku ini. Namun, perihal apakah aku harus mengejar Zahra atau tidak? Aku tidak tau. Aku masih belum tau dan belum paham bagaimana cara menyikapi perasaanku ini.

Bel yang berbunyi membuat Jihan terdengar panik dan kebingungan.

“Duh, aku pengennya nungguin kamu disini Zah,” jelas Jihan.

Aku dan Yusuf hanya mendengarkan percakapan mereka.

“Gak apa Han, aku gak apa-apa kok,” jelas Zahra.

“Gak apa-apa Han, biar aku aja yang jagain, aku gak akan masuk kelas. Bilangin ke Pak Anton aku sakit ya,” ucapku, entah darimana ide itu muncul. Aku tiba-tiba mengucapkan kalimat tersebut.

“Halah, bilang aja males belajar,” ucap Yusuf sambil mendorongku hingga aku terpental dan hampir jatuh dari ranjang.

“Bukan gitu Suf,”

“Halah!”

“Syut! Udah, biar aku hubungi pengurus UKSnya. Aku tanyain aja yang piket kemana,” Ucap Jihan dibalik gorden.

“Iya bener Han,” ujar Yusuf menyetujui ucapan Jihan.

“Udah, katanya bentar lagi kesini,” jelas Jihan.

“Kayaknya pak Anton udah ada, maaf aku duluan ke kelas Ya,” ucap Jihan sambil berjalan menuju pintu UKS lalu keluar.

“Iya,” kataku agak kencang agar suaraku terdengar oleh Jihan

Jihan yang sudah keluar kembali masuk lalu menatapku.

“Kenapa?” Tanyaku.

“Gak mau ikut pelajaran pak Anton?” Tanya Jihan.

“Bilangin aku agak telat,” ucapku.

“Hmm,” Yusuf berdehem menyebalkan.

“Aku teh sakit gais, masa kalian gak percaya?” Ucapku meyakinkan mereka.

“Ya udah iya, Zahra aku duluan ke kelas ya. Nanti aku izinin ke bu Ratna,” ucap Yusuf karena Yusuf satu kelas dengan Zahra.

Jihan dan Yusuf pergi meninggalkan UKS. Sungguh canggung, rasa bersalahku semakin menghantuiku. Aku jadi menyesal karena tidak ikut keluar bersama Yusuf dan Jihan.

“Zahra maaf ya,” aku memberanikan diri untuk mengeluarkan suaraku.

“Gak apa-apa. Aku emang udah gak enak badan 2 hari yang lalu kok,” ucap Zahra dibalik gorden biru yang ada di seberangku.

“Ya ampun Zah, kenapa kemarin gak bilang?”

“Aku gak apa-apa.”

“Tapi kamu pingsan Zah.”

Seorang perempuan datang membuat percakapanku dan Zahra berhenti sampai disitu.

“Maaf ya telat, tadi saya istirahat makan,” ucap seorang perempuan yang datang tadi.

“Gak apa-apa,” ucap Zahra.

Aku yakin Zahra mengucapkan kalimat tersebut sambil tersenyum. Sangat terdengar dari nada suaranya.

Ponselku berbunyi, tertulis nama ‘Jihan just a friend’ di layar ponselku.

“Halo Han!,”

“Abyan, hari ini pak Anton ulangan, kamu gak akan ikut?” Tanyanya dengan suara yang sangat pelan di seberang sana.

“Oh iya, aku lupa. Aku kesana sekarang.”

“Iya cepet, tadi aku udah bilang ke pak Anton kalo Abyan masuknya bakal telat, soalnya lagi kurang enak badan di UKS.”

“Ya udah makasih. Aku kesana sek…”

Aku tidak menyelesaikan kalimatku karena Jihan menutup teleponnya.

Aku yang panik segera berlari meninggalkan UKS tanpa sempat berpamitan kepada Zahra dan seorang perempuan yang tadi datang untuk piket UKS.

***

Hati memang tak dapat berbohong. Sekalipun kita mencoba mengelak, tetap saja hati terdalam kita sadar. Sehingga saat segala hal tentangnya selalu membuat penasaran. Maka wajar apabila ingin tahu tentangnya. Namun satu hal yang perlu untuk diingat, yaitu jangan sampai rasa penasaran justru membuat kita lalai.

Ya Rabb Aku Mencintai DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang