MALAM 1001 MALAM Dini Afiandri

273 22 1
                                    

MALAM SERIBU SATU MALAM Dini Afiandri

Namaku Ameera. Usiaku belum lagi genap sepuluh tahun. Sejak aku umur lima dan sudah mulai mengenal kata-kata, kakakku Hassan menjadi satu-satunya keluargaku, dan dia selalu membacakan dongeng 1001 Malam padaku. Aku begitu menyukainya hingga minta dibacakan setiap hari. Namun tak lama kemudian aku mengetahui bahwa aku bisa akrab dengan para tokoh-tokohnya, tidak hanya sebatas di dalam buku saja, tapi juga dengan cara yang tidak semua orang bisa mengalaminya.

Maka, bayangkan betapa terkejutnya aku ketika pada suatu malam yang cerah di pertengahan tahun, Sinbad, si pelaut perkasa sendiri mendarat di depan jendela kamarku dengan kuda terbangnya. Pria separuh baya berwajah awet muda yang mengenakan turban itu mengulurkan tangan padaku dan berkata, "Ikutlah bersamaku ke masa di manadongeng adalah sejarah.... Mempesona namun kadang menyeramkan. 'Buka Sesam,' kawan! Ayo, kita berangkat!"

Kapan lagi petualangan seperti ini? Kulempar sisa roti pita ke samping shish kebab, kurma-kurma di atas piring berlompatan. Dengan penuh semangat kudaki sadel di belakang Sinbad, memijakkan kaki pada sanggurdi, dan kami pun melesat ke angkasa penuh gemintang.

Sejak permulaan segala zaman, malam di Al-Kalam ini seperti siangnya. Panas menyerang, hati menggersang, di tengah gurun yang menampakkan tak keterbatasan. Memang aneh benar..... Tapi suasana bertambah aneh karena Jin Lampu tiba-tiba melayang di sisi tunggangan kami. Ia menyapa Sinbad dan membawa kabar tentang Aladdin, si tikus jalanan, yang dinanti oleh sang putri di balkon istana setiap malam dalam wujud Pangeran Ali Al-Rasyid.

"Hamba bosan, Sayyidi. Setelah menyihir gajah putih dari tikus untuk tunggangannya esok hari, hamba permisi. Ingin rasanya berdiam diri dalam lampu lagi, menenun permadani, andai saja lampuku tidak sedang diminyaki. Dua kali ia menyundut sorbanku karena lupa aku ada di dalamnya dan hendak menggunakan lampuku untuk membaca. Nikmati perjalanan anda malam ini. Salam!" Dan dia menghilang ditelan asap keperakan. Aku tertawa. Sinbad juga.

"Belum pernah dengar versi yang tadi dari dongeng itu, kan? Tunggu saja, yang kau lihat belum seberapa!" Sinbad melecut kudanya dan memacunya meninggalkan siluet obor dinding istana dan kota di bawah sana. Kami menuju tepi barat padang pasir. Bukit-bukit batu.

Tampak kerumunan pasukan berkuda hitam yang mengepulkan debu ke arah perbukitan. Aku terkesiap. "Itu empat puluh penyamun!"

Sinbad mengiyakan. "Kau membaca dengan teliti rupanya. Itu gua tempat para penyamun menyembunyikan harta mereka yang pernah dicuri Ali Baba."

Aku memperhatikan kerumunan itu, agak heran. "Kalau begitu, mengapa mereka masih ada? Bukankah keempat puluh penyamun itu sudah mati disiram minyak panas saat mereka menyamar, masuk di dalam guci?" tanyaku. Sinbad terbahak. "Itu tak sepenuhnya benar. Kenyataannya lebih dari itu. Perhatikan!"

Rombongan itu berhenti di depan mulut gua yang tertutup sebongkah batu besar. Seseorang, yang tampaknya pemimpin mereka, maju dan melambaikan tangannya. "Buka Sesam!" ucapnya. Sedetik, aku mengharap sebuah sihir akan berlangsung dan batu itu akan membuka. Tapi detik-detik berlalu dan tak terjadi apa-apa. "Buka Sesam!!" seru pria itu sekali lagi. Batu itu tak bergeming.

Seseorang di deretan belakang berlari menghampirinya. "Tuan, kata ajaibnya bukan yang itu. Bukankah Tuan sendiri yang mengubahnya karena kata 'Buka Sesam' sudah ketinggalan zaman, dan banyak sekali orang yang tahu dari buku mengenainya?" Pria tua di depan itu melepas cadarnya. Disinari cahaya bulan, aku melihat ternyata Ali Baba-lah yang memimpin mereka semua. Ia meraba-raba jubahnya mencari sesuatu, dan mengeluarkan secarik kertas papirus.

"Ah ya, kata kunci untuk malam ini... Ini dia. 'Buka Wijen!' " Batu di hadapannya mengeluarkan suara gemuruh dan bergetar, tapi tidak terbuka. Terdengar bunyi sesuatu seperti diseret. Ali Baba menggeleng tak sabar. Anak buahnya yang tadi menyambar sebuah guci dari atas sadel, berlari ke pinggir bukit, dan menyiramkan isi guci itu ke bagian samping batu. Terdengar bunyi berdecit-decit dan akhirnya batu besar itu menggeser ke samping, memperlihatkan gua besar di baliknya. Ali Baba berkacak pinggang.

EVERNA SAGA lintas.masaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang