Cinta dan Janji yang Ia Pegang (SP Chapter)

249 29 20
                                    

"Kita pulang—hueh? Sepi ...."

"Palingan Kakak lagi pada tidur."

Lampu rumah sudah dinyalakan ketika Duri dan Solar kembali dari jalan-jalan sore mereka. Normalnya, selama bulan belum menggantung tinggi di langit, ruang keluarga akan dipenuhi mayat-mayat pemuda kurang kerjaan menunggu korban yang piket masak hari itu selesai bertugas.

"Oh, ya? Sejak kapan kakak-kakak kalian jadi mager begini? Masih muda, kok, udah molor jam segini." Cibiran itu keluar dari sosok berpostur tegap. Mendukung helaan napasnya yang berat, ia berkacak pinggang.

Keheningan dipecah oleh gesekan dari tas belanjaan dengan meja ruang keluarga. Yang berikutnya terdengar adalah suara ritsleting yang dibuka, menampilkan isi tas yang beraroma manis. Wanita berkerudung biru mengangkat sebuah botol besar berisi cairan jingga dari dalam tas. "Siapa mau jus jeruk sama martabak?!"

"Punyaku!"

"Astajim, Ice, kau cepet banget, sih, kalau soal makanan!"

"Minggir, Hali, kali ini jatahku!"

"Enak aja! Kemarin kau udah habisin kare ayamnya sendirian!"

Sulit menemukan hal lain yang lebih jitu selain makanan dan minuman kesukaan mereka sebagai umpan agar putra-putranya turun dari kamar. Begitu disodorkan yang manis-manis, ruang keluarga dalam sekejap berubah menjadi diorama "Pertempuran San Romano" seperti yang dilukiskan Paolo Uccello. Dengan formula sebagai berikut; Ice, Blaze, dan Halilintar sebagai prajurit, sementara Taufan adalah kuda yang dengan tragis terjerembab.

Layla hanya bisa geleng-geleng menyaksikan kebuasan putra-putranya yang sudah remaja. Sadar akan bahaya perang, dua putranya yang paling kecil segera diamankan ke kamar mereka. Wanita itu memutuskan untuk masuk ke kamar, berniat mengganti pakaian setelah seharian jalan-jalan.

Di antara seluruh kaum adam yang tadinya goleran di rumah, ada satu yang tak ikut perang. Bukannya berpakaian prajurit compang-camping yang habis menembak peluru ke pasukan musuh, yang ini sedang sibuk mengenakan dasi sebagai pelengkap setelan hitamnya.

"Udah pulang, Bun. Gimana jalan-jalannya?" Amato berbalik badan dari cermin setinggi badan, menyambut sang istri yang memutuskan melompat ke ranjang untuk meregangkan badan.

"Segar, Yah! Bunda kangen belanja krim facial Bunda! Udah habis, nih. Kangen juga bisa jalan-jalan sama anak-anak! Ah, lain kali ayo kita ajak kakak-kakak jalan-jalan juga!"

Amato tak bisa menahan senyum sembari menyimak celoteh yang sang istri tuturkan. Baru keliling pusat kota saja bisa sampai esok ceritanya. Bayangkan tiap kali Layla pulang dari tugas penerbangannya ke berbagai belahan dunia.

"Loh, Ayah, tumben udah rapi. Mau ke mana?" Celoteh Layla terhenti mendapati sang suami tampil rapi sore ini. Bau parfum mahalnya tercium sampai ke seluruh ruangan.

"Mau ke restoran tempat Gempa mau ngenalin pacarnya. Bunda juga, ganti pakaian yang rapi, gih."

Layla mengangguk, hendak menutup mata sejenak. Kemudian kesadaran itu mengetuk ingatannya.

"Tunggu sebentar." Layla bangkit dari rebahan dengan kedua kelopak mata terbuka sempurna. "Bunda kira ketemuannya besok ...."

Kalimat itu dibalas senyum masam. Barulah ketika disodorkan layar percakapan sang suami dengan putra sulung mereka, bola mata sang istri nyaris lepas dari relungnya.

"Bun, ketemuannya hari ini. Malam ini."




"AYAH, GIMANA, SIH! Kenapa gak bilangin Bunda? Aduhhh, Bunda masih bau apek, lagi! Gak bisa dibiarkan!"

Riuh menjalar, dari ruang keluarga, sekarang ke kamar sang Raja dan Ratu yang buru-buru menyiapkan kehadiran mereka ke pertemuan dengan calon menantu yang sudah dikabarkan beberapa pekan lalu. Giliran Amato yang geleng-geleng.

The Tale of the Rock Giant and the Shadowless Sorcerer (GemFang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang