Chapter 9

2.8K 184 6
                                    

"Kita pacaran yuk!" ucap Felix dengan tiba-tiba, setelah beberapa saat hanya memperhatikanku saja yang sedang makan siang di kantin sekolah.

Tersendak aku mendengarnya. "Bisa nggak sih lo nggak ngomong hal aneh pas gue lagi makan?" tanyaku sambil celingak-celinguk karena suara Felix sedikit keras saat berbicara tadi.

"Emang menyatakan perasaan itu adalah hal yang aneh ya?" tanyanya bingung. Aku pun tidak menjawabnya. "Gue serius dengan yang gue bilang barusan! Gue suka sama lo, Yan! Gue udah pernah bilang kan?" ucapnya tersenyum manja. Aku masih berusaha untuk mengabaikannya. Felix meraih tanganku. "Yan, mau ya! Kita jalanin dulu aja, tapi lebih dari sekedar teman! Setelah itu, lo bisa mutusin mau lanjut atau nggak."

"Apaan sih, Fel?" aku berusaha melepaskan genggamannya.

Felix terus menerus membujukku. "Kalau nggak, gue teriak bilang suka sama lo nih!" ancamnya.

Aku terbelalak mendengarnya. "Waduh, bahaya." resahku dalam hati.

Felix menarik nafas panjang. "DIAN GUE..." segera kututup mulutnya sebelum kalimat yang tidak umum itu terucap.

"Iya, iya, gue mau." ucapku panik khawatir semua murid di kantin akan mendengarnya.

Nyatanya tidak hanya murid di kantin, tetapi murid satu sekolah mengetahuinya, entah darimana sumbernya. Gosip terpanas sepanjang sejarah sekolah ini. Sepasang murid pria menjalin kasih. Untung saja para guru tidak terlalu menanggapi berita ini dan menganggapnya hanya sebagai lelucon. Jika tahu akan jadi seperti ini, seharusnya kubiarkan saja dia berteriak, tanpa harus mengiyakan permintaannya.

Dengan status baru dihubungan kami, Felix yang sebelumnya ramah dan baik kepadaku, kini semakin menjadi, bahkan bisa dibilang romantis. Sedikit risih awalnya, tetapi lama kelamaan membuatku nyaman juga. Namun sepertinya, pandangan orang kepada kami yang lebih membuatku risih.

Linda tentu saja terkejut. Seharian memberikan berbagai macam pertanyaan. Aku bingung harus menjawab apa, karena belum pernah melakukannya. Kata pacaran saja masih terdengar tabu untukku.

"Keluar!" ucap Emil sedikit berteriak saat aku sedang mencuci tangan di toilet.

Mendengar perintah itu, semua murid di dalamnya langsung angkat kaki, termasuk diriku yang buru-buru menghilangkan sisa-sisa sabun di tangan dengan air. Kulihat ekspresinya dari pantulan cermin, sepertinya akan terjadi pertumpahan darah, entah dengan siapa.

Setelah selesai, cepat-cepat aku melangkah ke pintu keluar, karena hanya tinggal aku saja di dalamnya. Namun, hal yang tak terduga terjadi. Emil menghalangi jalanku.

"Nggak termasuk lo!"

"Mampus gue! Perasaan gue nggak ngelakuin hal yang salah." bisikku dalam hati. Aku tidak menghiraukan ucapannya, sambil menghela nafas agar tidak terpancing emosi. Berusaha untuk menyalip, tetapi ia tidak memberikan jalan. "Apaan sih, Mil?" lama-lama kesabaranku habis juga dibuatnya.

Langkahku terhenti sejenak ketika melihat wajahnya yang penuh amarah. Membuatku takut menatapnya. Matanya berkaca-kaca, seperti menyimpan kesedihan mendalam. Mengapa melihat ekspresinya malah membuatku menjadi merasa berasalah? Padahal aku belum tau letak kesalahanku.

"Lo jadian sama Felix?" Emil melontarkan pertanyaan yang tidak bisa diduga terucap dari mulutnya.

Aku terdiam sejenak, sembari mencari kata yang tepat untuk menjawabnya. "Sepengetahuan gue, itu bukan urusan lo!" jawabku sambil kembali berusaha mencari celah.

"Maksud lo apa jadian sama Felix?" aku tidak menjawab sambil terus mendorong tubuh tingginya untuk menjauh. "Apa yang udah kita lakuin waktu itu nggak ada artinya?"

Eleven Twelve [ BL | Boys Love | BxB ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang