Chapter 36

1.2K 79 0
                                    

Apa yang sebenarnya ia inginkan? Entah apa yang membawanya jauh-jauh datang menemuiku. Pergi begitu saja tanpa ada penjelasan, kembali dengan senyuman seolah akan termaafkan. Kehadirannya membuka luka lama yang sudah pulih. Semoga saja tak ia lukai lagi.

"Apa yang membuat kamu memilih untuk pergi?" tanya Emil saat kami berjalan untuk pulang.

"Biar bisa ngelupain kamu lah! Pakai tanya lagi." jawabku dengan ketus.

"Aku kan sudah bilang, apapun yang terjadi, perasaan aku tidak akan pernah berubah."

"Tapi nyatanya, kamu lebih memilih Oliv."

Emil tersenyum kecil. "Felix bilang ke aku kalau kamu datang ke acara itu." aku menoleh ke arahnya, menantikan sebuah jawaban dari kejadian itu. "Saat itu, aku masih bergantung sama orang tuaku, terutama sama Bokap. Jadi mau nggak mau, aku harus menuruti perintahnya. Saat Bokap tahu tentang hubungan kita, ia menjodohkan aku dengan Olivia dan membuat acara itu. Aku fikir hanya sekedar tunangan seharusnya tidak menjadi masalah untuk menurutinya, karena bukan sebuah pernikahan."

"Tapi masalah buat aku." cibirku.

"Iya, aku tahu. Aku minta maaf ya!" ucapnya dengan senyuman manisnya. Aku hanya bisa memasang tampang sedikit kesal, jual mahal lebih tepatnya. Agar ia sadar, tak semudah itu untuk memaafkannya. "Padahal aku berharap, kamu bisa lebih sabar menunggu sebentar aja! Menunggu sampai aku selesai kuliah. Sampai aku bisa mencari uang sendiri dan bisa keluar dari cengkraman Papaku. Tapi kamu malah memilih pergi."

"Kamu nggak pernah meminta aku untuk menunggu." tepisku, karena ucapannya terdengar menyalahkanku.

"Iya sih, tapi ya sudahlah. Lagi pula aku sudah ada di sini sekarang." ucapnya sambil merangkul dan menarik tubuhku mendekat.

"Tumben berani ngerangkul? Tadi juga berani nyium aku di depan umum."

"Negara ini kan negara yang bebas. Toh, juga nggak ada yang kenal aku."

"Bukannya tidak ada, tetapi belum ada. Bagaimana jika sudah ada? Apakah dia masih bisa bebas seperti ini?" bisikku dalam hati. "Lalu apa yang akan kamu lakukan di sini?"

"Aku akan berkeja pastinya."

"Memang mudah cari kerja di sini? Kamu akan tinggal dimana sampai kamu keterima kerja? Memang kamu ada pegangan untuk bertahan hidup selama kamu belum bekerja?" memberondong pertanyaan karena sedikit khawatir.

Emil kembali tersenyum. "Kamu nggak perlu khawatir! Aku sudah punya Visa pekerja yang berlaku selama 1 tahun, dan aku juga sudah sewa apartemen untuk setahun di sini. Jadi selama setahun ke depan, aku tidak perlu khawatir memikirkan tempat untuk tinggal. Di luar itu, aku masih ada tabungan. Sepertinya cukup untuk bertahan tanpa bekerja sampai mungkin setahun, bahkan lebih."

"Kamu serius?" tanyaku yang masih tidak yakin.

"Serius! Bahkan, apapun yang kamu mau, aku bisa belikan."

"Bukan itu maksud aku. Yang aku tanya, kamu serius siap tinggal di sini selama satu tahun ke depan?"

Emil menganggukan kepala. "Ya, aku serius! Aku mau menemani kamu dimanapun kamu berada. Aku ingin menebus kesalahan-kesalahan aku." Emil menghentikan langkahnya. Memegang kedua tanganku sambil menatapku dengan penuh perasaan. "Dan yang lebih penting, aku nggak mau kehilangan kamu lagi!"

Sejujurnya, aku tidak merasa lega, malah merasa terbebani dengan keputusannya. Bagaimana tidak? Karena keputusannya seolah ia lakukan semata-mata hanya untukku. Keputusan besar yang mungkin bisa merubah jalan hidupnya. Bagaimana kedepannya jika kami ternyata tidak sejalan? Bagaimana jika terjadi keributan? Bahkan yang menikah saja bisa bercerai, apalagi yang hanya sebatas hubungan pacaran anak remaja seperti ini. Jika memang terjadi hal buruk yang menimpa kami, apakah ia akan menyalahkanku?

Eleven Twelve [ BL | Boys Love | BxB ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang