Chapter 11: Emilio 1

2.9K 151 2
                                    

Tawuran, perkelahian, melukai dan dilukai, sudah menjadi makanan sehari-hariku selama bersekolah di sini. Aku tidak pernah berniat membuat keributan, apalagi sampai menyebabkan permusuhan. Layaknya peribahasa, 'Tidak ada asap jika tidak ada api'.

Kulakukan itu semua semata-mata untuk menjaga nama baik sekolah, serta melindungi murid-murid dari musuh di luar sana. Entah seperti apa sekolah menilai tindakanku ini, tapi aku cukup puas karena bisa melampiaskan emosiku dengan melakukan hal yang di mata orang banyak adalah perbuatan tercela.

Selain itu, tidak ada yang special. Semua berjalan seperti pada umumnya. Belajar, belajar dan belajar. Walau kusadari aku bukan termasuk anak yang pintar, namun juga tidak bodoh. Terlebih lagi, aku selalu unggul di pelajaran olah raga. Mungkin memang di situlah letak kelebihanku, hingga membuat sekolah ini selalu menjadi juara dalam pertadingan antar sekolah di bidang olah raga apa pun. Sampai-sampai membuat perpecahan antar sekolah yang sebelumnya terjalin baik.

Mungkin karena hal itu juga murid-murid mengandalkanku dalam urusan melindungi ketentraman sekolah, karena sebelumnya tidak ada yang berani melakukan pergerakkan untuk melawan. Layaknya sebuah negara yang di jajah, apakah akan merdeka jika tidak ada yang bertindak?

"Mil, anak-anak sekolah itu berulah lagi." ucap salah satu temanku ketika aku sedang bersantai di salah satu tempat favoritku di sekolah ini. Sedikit membuatku geram mereka bertingkah di saat aku sedang tidak ingin diganggu.

Aku segera beranjak untuk menyelamatkan teman-temanku. Sesampainya di sana, beberapa murid sekolahku tengah dirundung, serta dipalak. Aku tidak bisa tinggal diam melihat mereka menindas orang-orang yang lebih lemah. Tanpa berpikir dua kali, aku dan teman-temanku langsung melakukan penyerangan. Tentu kami yang menang, walau jumlah mereka lebih banyak dua atau tiga orang. Sebab, aku sendiri pun bisa menghabisi dua sampai tiga orang seorang diri. Tergantung dari seberapa besar dan seberapa kuat lawannya.

Itulah keseharianku menjalani masa-masa remaja. Melindungi teman-teman, terutama bagi mereka yang lemah. Tetapi, semuanya seperti berputar 180 derajat sejak kehadirannya. Seolah aku telah mengingkari janji kepada diriku sendiri.

Siang itu, saat aku sedang berjalan di halaman depan sekolah, seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh ke arah tepukan itu. Terdiam sesaat, karena terpesona dengan sosok indah di hadapanku. Matanya yang berkilau, hidungnya yang lancip, serta bibir kecil merah cerahnya memalingkan pikiranku. Serasa waktu berhenti berputar untuk bisa menikmati keindahannya untuk sejenak. Belum pernah jantungku berdebar secepat ini.

"Sorry, mau tanya, ruang kepala sekolah dimana ya?" tanyanya.

Aku memberikan arahan ke tempat yang ia tanyakan dengan jelas. Namun mengapa aku merasa, malah aku yang kehilangan arah?

Sosok itu berterima kasih dengan senyuman. Senyuman canggung yang mungkin tak bisa kulupakan. Aku memperhatikan punggungnya dari belakang yang berjalan ke arah yang kutunjukkan. Apakah ia memiliki sayap? Karena dirinya benar-benar seindah malaikat.

Seharian aku memikirkannya. Suara guru dan kegaduhan di kelas teralihkan olehnya. Seolah ia sedang berdiri menatapku, membuatku tenggelam dalam lamunan. Membayangkan untuk mendekatinya, bahkan memilikinya, namun kusadari perasaan ini seharusnya tidak boleh ada.

Saat jam istirahat, aku pergi ke taman belakang. Tempatku biasa menyendiri di bawah sebuah pohon yang rindang. Namun sesampainya di sana, sudah ada seorang murid yang mendahuluiku. Ia mengacuhkanku sampai aku harus memanggilnya beberapa kali. Murid itu menurunkan buku yang menutupi wajahnya. Dia, sosok indah itu menatapku bingung. Sepertinya ia lupa bahwa kita pernah bertemu.

Aku mengambil kesempatan ini untuk bersikap tidak baik terhadapnya, agar ini menjadi kesan pertama yang ia rasakan terhadapku. Karena pada dasarnya, sesuatu yang buruk akan lebih mudah untuk diingat.

Eleven Twelve [ BL | Boys Love | BxB ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang