Seorang lelaki sedari tadi hanya mundar-mandir didepan ruang bersalin, remaja yang duduk tidak jauh darinya tampak jengah melihatnya. Kakak iparnya yang mundar-mandir tapi dirinya yang pusing.
"Mas, duduk aja kenapa sih? Pusing aku lihatnya"
"Kamu belum ngerasain, Ji. Gimana paniknya ketika istri kamu sedang berjuang didalam sana" Ucap lelaki itu
"Iya memang belum, tapi aku percaya kalo mbak Haira bisa. Udah sini duduk dulu"
Lelaki yang lebih muda itu segera menarik iparnya untuk duduk disebelahnya.
"Mas tenang aja, banyak berdoa. Semoga mbak Haira bisa melewati operasi ini dengan lancar"
"Tanpa kamu minta"
"Dihh sewot bener" Panji terkekeh geli dengan lelaki di sampingnya ini. Menyangkut istri tercintanya ia akan sangat sensitif.
Kedua lelaki itu masih betah menunggu pintu ruangan didepannya terbuka. Selang beberapa menit dokter yang menangani istrinya tadi sudah keluar dari ruangan itu.
Maraka yang melihat perempuan itu segera berdiri lalu menghampirinya.
"Keluarga ibu Haira?"
"Iya, dok. Saya suaminya"
"Selamat bapak, persalinannya berjalan dengan lancar. Ibu akan segera dipindahkan ke ruang rawat inap. Untuk bayinya masih dibersihkan. Setelah itu akan segera diserahkan kepada pihak keluarga"
"Baik, terima kasih dokter"
"Sama-sama. Saya permisi"
***
Bayi cantik yang masih memerah itu mencoba menggapai tangan sang bunda. Kedua matanya masih terpejam.
"Adek cantik ya, mas?"
"Iya sayang, kayak kamu. Terima kasih ya" Tangannya ia bawa untuk membelai puncak kepala sang istri, lalu mengecup kecil kening istrinya.
"Udah dikasih nama?"
"Emm, kalo Cellina gimana?"
"Bagus. Aku suka"
"Cellina Anggita Abigail" Lanjutnya.
Dikecupnya lama kening sang putri, semoga hadirmu mampu membawa kebahagiaan untuk semua orang ya, sayang.
***
"Oekk.. Oekk.. Oekk.."
Pukul tiga dini hari, tidur nyenyak sepasang suami istri itu harus terganggu dengan suara tangis putri cantik mereka.
Sang wanita yang mendengar itu segera bangkit untuk mengecek box bayi yang masih satu ruangan dengan kamar ayah dan bundanya.
"Cup.. Cup.. Cup.. sayang. Adek haus ya?" tepukan lembut ia bawa untuk menenangkan sang putri.
Di ranjang ia bisa melihat pergerakan suaminya. Mungkin tidurnya tadi terusik dengan tangis kencang dari putrinya.
"Ayah tidur lagi aja, adek juga udah tidur lagi kok ini"
Bukannya menuruti omongan sang istri, Mara malah menyandarkan tubuhnya, menyuruh sang istri untuk mendekat padanya.
"Kenapa?"