Selingkuh, Mungkin?

3.5K 297 23
                                    

.
.
.
.
.

"Malam ini gue lembur, gausah nunggu."

Obsidian Jeno mengarah pada pria berumur dua puluh tujuh tahun yang sedang memakai jas hitam armaninya, lalu hembusan napas dan tulang bahunya pun menurun. Terlalu sering mendengar rangkaian kata tersebut membuatnya paham, bahwa alasan dibalik 'lembur'nya itu ada hal lain, selingkuh mungkin?

"Tapi, kemaren Mama suruh untuk kakak datang ke acara keluarga nanti."

Decakan kesal menggema diruang kamar, yang tadinya Mark akan memasang jam tangan mahalnya, Mark malah berbalik melangkah pada pemuda berkemeja putih yang terduduk di ujung ranjang kamar.

"Datang sendiri kan bisa, biasanya juga datang sendiri lo."

Gelengan kepala menjadi jawaban dari pertanyaan Markava tadi, pemuda dengan senyuman manis itu berdalih,
"Kakak kan udah ga datang berkali-kali. Nanti ada yang tanya kakak dimana, aku jawab apa?"

"Pinter-pinter lo aja, lo kan paling pinter kalau ngibul." Seringai miring tercetak disudut bibir Markava.

Lagi, Jeno direndahkan begini. Kepalanya tertunduk dengan jemari bertaut, memang apalagi yang harus dilakukannya? Melawan? Oh tidak, Jeno tidak ingin ia berakhir disetubuhi dengan kasar dikamar mandi dan tubuhnya ditenggelamkan pada bath up berisi air penuh. Cukup sekali saja, ia tak mau mengalaminya lagi.

"Oh ya, yang kemarin jangan sampai mulut lo bocor ke Mama. Tau diri juga lo, cuman istri buangan berlagak kayak nyonya."

"Ya."

Ah, mulut suaminya ini pedas juga ternyata. Sudah makanan sehari-hari hinaan dan cercaan Mark ditelan mentah oleh Jeno. Ia cukup tau diri dengan tidak membicarakan hal— bahwa seminggu yang lalu Jeno memergoki Mark yang membawa wanita ke dalam rumah— di mana pada ruang tamu jelas terpampang foto pernikahan Mark dan Jeno berukuran besar.

Lelah dan tak ingin berdebat lagi, Jeno beranjak dari ranjang kamar Mark setelah melipat setelan kerja suaminya itu dan menaruh kembali. Jeno menuruni anak tangga satu persatu, melangkahkan tungkai pada dapur dan mulai memasak sarapan. Lama durasi dua puluh menit ia gunakan memasak, kini dua porsi nasi goreng tersaji dimeja makan kaca.

Jeno meletakkan nasi goreng dan menuangkan air pada gelas kaca bening, kemudian mundur dan pergi ke kamarnya sendiri. Matanya berserobok dengan obsidian kelam Mark yang memandang Jeno dari atas tangga dengan menenteng MacBook keluaran terbaru.

Mark tidak akan perlu repot-repot untuk menyuruh agar Jeno tetap disitu, kan? Jeno sendiri yang tidak ingin semeja dengan Mark. 'Jadi biarkan saja,' batin Mark.

Berbeda dengan pikiran Mark, Jeno sebenarnya ingin duduk berdua semeja dengan pria berjas hitam tersebut. Tetapi, dari cara pandang Mark yang ingin mengulitinya, Jeno tidak kuat untuk melihat Mark terus memandangnya tajam selama makan. Lebih baik ia cari aman, bukan?

Dentingan sendok beradu dengan piring, Mark memandang datar kursi kosong di depan ia duduk. Harusnya kursi itu Jeno tempati sekarang, namun ia malah membiarkan suaminya makan sendiri. Remasan pada sendok silver itu menguat, hati Mark memanas. Selama ini Jeno selalu mengabaikan dan membiarkan pria itu makan sendirian ditemani kesunyian. Kalau saja ada orang yang melihat, mungkin menertawakan keadaan Mark yang miris.

Decitan kursi beradu dengan lantai bersuara, Mark bangkit meninggalkan nasi goreng sisa setengah. Kakinya melangkah ke kamar disamping ruang tengah- kamar Jeno. Membuka gagang pintu, sedikit menyilau sedikit ke dalam. Katakan saja ia tak sopan langsung masuk ke kamar orang, tapi apa pedulinya? Semua ruangan dirumah ini berhak Mark kunjungi kapan pun itu.

Melihat Jeno tengah mengemas beberapa pakaian, Mark mengetatkan rahang. Istrinya ini lebih memilih mengurusi pakaian sialan itu daripada dirinya yang seperti duda sedang makan sendirian dimeja makan?

"Kenapa, kak? Masakannya ga enak? Mau ganti yang lain?" Pergelangan Jeno diseret dengan kasar menuju meja makan, meringis melihat tangannya dicengkram erat.

"Makan."

Jeno melongo melihat Mark yang menyuruhnya makan, serius? Ia tidak sedang halusinasi kan? Kerasukan apa Markava Djung ini.

Meringis menyadari Mark memandangnya tajam, Jeno memilih duduk dikursi makan dan mengoulum senyuman. Memegang kaku sendok ditangannya, sedangkan Markava diujung sana sudah menyuap sendoknya ke mulut. Keduanya menutup mulut sampai sepiring nasi goreng Mark tandas, habis tak bersisa. Menurut Jeno ini sebuah ke-

"Jangan kepedean, sayang aja gue makan sendirian tapi ga ada yang nemenin makan, padahal udah punya bini. Apa kata orang?"

-majuan bagi hubungan mereka, oh atau tidak? Sekali lagi Markava Djung dengan mulut pedasnya membantai habis seluruh kepercayaan diri yang dibangun Jenoza.

***

"Apartemen Pondok Indah Residence, pak."

Sang sopir melirik kaca dashboard saat penumpangnya mengatakan alamat tujuan, menganggukan kepala dan menginjak pedal taxi biru tersebut.

Jam pada pergelangan tangannya menunjukkan pukul lima tepat, bahunya bersandar sebentar dengan kursi penumpang yang empuk. Memijit sekilas bahunya yang dibuat bungkuk saat bekerja tadi. Helaan napas kasar berhempus, Jeno memandang room chatnya dengan Mark.

Suaminya itu meminta Jeno segera ke apartemennya kalau Jeno benar-benar ingin Mark hadir di acara keluarganya. Ya untuk apalagi? Pasti disuruh untuk membersihkan apartemennya. Mark menganggap Jeno hanya 'alat'.

Lebih memilih memandangi langit Jakarta menyapa pada sore hari itu, semburat jingga menghiasi langit. Menarik sudur bibirnya, dulu Jeno ingin sekali menggapai awan. Penasaran, awannya bisa kepeluk atau engga, alasannya sih dulu begitu.
Setiap memandang langit, ia jadi teringat kedua orang tuanya yang sudah tiada. Tidak tahukah mereka? Jeno disini tersiksa, amat tersiksa.

Bulir kristal jatuh dari mata cantiknya, memandang kosong jalanan yang mulai ramai, karena jam lima begini memang banyak pekerja kantoran berlomba-lomba untuk cepat pulang, merehatkan diri dari segala aktivitas padat. Jiwanya seolah terambil, andai kata jika perkataan sang sopir yang menginterupsi mereka sudah sampai di tujuan, mungkin Jenoza sudah diderai air mata, banjir.

Gedung bertingkat puluhan lantai berada dalam pandangan Jeno, tak pernah ia tak berdecak kagum saat melihatnya. Tungkai kaki melangkah menuju apartemen Mark untuk segera menemuinya.

.
.
.
.
.

arthmetta, 2022

Marriage Shit [MarkNo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang