Apartemen dan Senja

3.3K 298 10
                                    

.
.
.
.
.


Pemandangan pertama yang Jeno lihat saat menginjakkan kaki di apartemen Markava; bantal sofa tergeletak pada lantai, piring yang bertumpuk di kitchen sink, baju-baju bercampur bau keringat dihamparkan dikaki sofa, kamar yang menyengat bau sehabis bercinta.

Jeno ingin mengutuk pelaku kejadian utama dimana ia hanya duduk dengan santai sembari melihat layar MacBooknya. Matanya bergulir melihat sudut ke sudut yang berserakan, dimulai dari mana dulu untuk membersihkan kekacauan ini, huh?

Derap kaki pada lantai vinyl kayu membawa langkahnya ke kamar utama, ruangannya gelap, apek dan pengap. Pantas saja begitu, tidak ada udara yang keluar, terbukti dengan gorden abu-abu kamar yang menutup. Tapi, sebelum membuka hordeng, Jeno terlebih dahulu menyemprot pengharum ruangan ke sekujur sudut. Ia tak tahan dengan bau sperma yang menyengat, perutnya bergejolak mual ketika menciumnya.
Suara gorden terbuka, Jeno membuka seluruh jendela yang ada agar udara bisa masuk.

Mengernyitkan dahi, Jeno memalingkan muka saat melihat protection di atas nakas, protection bekas pakai dengan sperma berceceran disekitarnya. Pantas saja baunya menyengat.

Sedikit berteriak, Jeno kembali membuka percakapan memperingati pria itu sembari membuang protection tersebut,
"Kalau bawa lacur kesini, bekas kondomnya jangan taruh diatas nakas. Langsung buang apa susahnya?"

"Iya-iya, berisik!" Dengan malas pria berkaos hitam menjawab dari balik kamar.

Jeno mengganti seprai dan sarung bantal, lemari pakaian ia tutup ketika sudah meletakkan baju-baju Mark yang ia lipat. Suara vacum cleaner menggema diruang kamar 4x4 tersebut, membersihkan dari sudut ke sudut. Huh, semuanya tampak lebih rapi daripada pertama kali ia lihat.

Jeno keluar kamar, meletakkan kembali bantal-bantal sofa yang berserakan. Pakaian Markava yang tergeletak dikaki sofa ia ambil alih dan melempar ke mesin cuci. Berada didapur sekarang, Jeno membilas buih yang ada pada piring ditemani suara dengungan mesin cuci yang berada disamping dapur- ruang laundry.

Pekerjaannya tidak sampai disitu, setelah meletakkan kembali piring ke raknya, Jeno membawa langkah kaki ke samping ruang laundry-yang lebih tertutup- dengan membawa pakaian basah Mark. Tidak cukup banyak, hanya sebelas helai-sudah termasuk baju dan celana-yang Jeno hamparkan dengan penjepit baju.

Berhenti sejenak, lelaki Taurus itu menghela napas pelan sembari menyeka peluh di dahi. Sengaja ia taruh jemuran di dalam, karena tidak mungkin menaruhnya diluar, sementara matahari mulai terbenam, harap-harap saja kering walau membutuhkan waktu kering lebih lama.

Jeno mengistirahatkan tubuhnya terlebih dahulu dikursi kayu balkon, melihat-lihat langit biru yang akan memudar menjadi jingga dan berakhir hitam pekatnya malam. Kapan terakhir kali ia memerhatikan senja? Dulu, ia selalu berbincang dengan ibunya kala senja itu datang. Bercakap-cakap ringan, seperti; Apakah hari ini permatanya ibu bahagia? Selalu mengucapkan syukur kepada Tuhan karena telah diberi napas yang panjang, Nak.

Ah, ia rindu dengan ibunya. Lusa, Jeno berencana untuk mengunjungi pusara ibunda, terlalu banyak kerinduan ia pendam beberapa tahun belakangan. Ingin bercerita, betapa banyaknya goresan dihati yang orang-orang ciptakan padanya.

Suata saat, Jeno berharap ia bebas.
Bebas sebebas-bebasnya.

Kembali masuk ke dalam, Jeno menutup pintu kaca balkon dan menggeret gorden abu-abu tersebut. Pria dengan kacamata membingkai wajahnya itu menghidupkan seluruh lampu diapartemen, terang-benderang. Tadi, ia memeriksa kulkas, dan ya- stok makanan habis. Jeno berencana untuk belanja sebentar, dan ia harus meminta uang kepada Markava yang tengah mengetik pada MacBooknya. Sebenarnya, Jeno bisa saja langsung pergi dan membeli barang-barang dengan uangnya, tetapi ini kan apartemen Mark? Harusnya, Mark yang memperhatikan segala apa saja yang dibutuhkannya disini. Lagi pula, hei! Dompet Jeno tipis ditanggal tua seperti ini, ia belum gajian.

Marriage Shit [MarkNo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang