PROLOG

128 13 1
                                    

Happy Reading!!

|The Beginning of Everything|

•••

Renia melamun kosong. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Sejak ia disekap untuk dilecehkan dan disiksa, tidak pernah sekalipun dirinya mengeluarkan air mata. Bahkan ringis kesakitan pun tidak ia keluarkan sama sekali. Dia hanya membisu dan memejamkan mata saat penyiksaan demi penyiksaan terus dilakukan.

Keadaannya mengenaskan. Dengan tubuh yang dipenuhi luka, pakaian yang sudah tak layak pakai, serta tangan yang diikat kuat pada besi di belakang tubuhnya.

Semua luka yang ia dapatkan, tidak cukup untuk membuatnya menangis dan merasa sakit. Ia seakan hanya raga tanpa jiwa.

Sejenak, Renia menutup matanya. Mengingat semua hal yang sudah ia lakukan pada mereka hingga membuatnya mendapat balasan sekejam ini.

Mengkhianati suaminya.

Menyiksa anak-anaknya.

Bahkan, ia membunuh putrinya sendiri.

Keluarga kecilnya hancur hanya karena keegoisannya. Renia mengingat betul, bagaimana rintihan kesakitan dan permohonan ampun dari ketiga anaknya saat ia siksa dengan tangannya sendiri.

'Aku sekejam itu rupanya...' Wanita itu tersenyum miris.

Lamunannya buyar saat mendengar suara derap langkah kaki. Matanya terbuka, dan melihat tiga laki-laki dengan satu perempuan yang menuju ke arahnya. Ketiga laki-laki itu, adalah suami dan putranya. Sedangkan perempuan itu.... Calon istri suaminya.

"Bagaimana rasanya disiksa tanpa ampun, huh?" Tanya putra keduanya dengan sinis.

Renia tidak menjawab. Hanya membisu dan menatap kosong pada mereka yang dulu ia sebut keluarga.

"Sudah, tidak perlu berbasa-basi. Aku muak melihatnya masih hidup. Bunuh saja wanita itu."

Renia merasakan hatinya sangat sakit saat mendengar kata 'wanita itu' dari bibir putra pertamanya. Seakan putranya itu tidak menganggap dirinya sebagai seorang ibu. Mereka yang dulu selalu mendambakan kasih sayang darinya, kini justru berbalik menyiksa dan bahkan ingin membunuhnya.

Kedua putranya yang dulu menatapnya dengan penuh sayang, kini menatapnya dengan jijik dan merendahkan.

'Aku sudah terlambat untuk memperbaiki semuanya.' Renia terus menyesali perbuatannya yang kejam pada anak dan suaminya.

Wanita itu ingin membuka mulut. Tapi ia urungkan saat melihat sang suami yang dulu menatapnya penuh cinta kini menatapnya dengan dingin, berjalan mendekati dirinya. Di tangan suaminya itu, terdapat sebuah pisau. Tanpa dijelaskan pun ia tahu, bahwa suaminya itu akan membunuh dirinya.

"Ayah, tunggu!" Seru Reno, putra sulungnya.

Sejenak, Renia berpikir bahwa Reno akan menyelamatkannya. Namun, salah.

"Biar aku yang membunuhnya."

Kalimat itu membuat Renia kehilangan harapan hidup. 'Ini adalah balasan yang setimpal untukku.'

Renia merasakan sebuah benda tajam dan dingin menusuk perutnya, tak hanya itu... Lengannya juga terasa seperti dirobek paksa. Ternyata, tusukan itu berasal dari Revan-- putra bungsunya.

Renia tidak mampu menahan rasa sakit lagi, meski pun sebelumnya ia hanya diam saja saat disiksa, bukan berarti tubuhnya mati rasa.

"S-sakit..." Lirihnya sendu. Pandangan matanya menyapu pada ketiga pria yang pernah menjadikannya Ratu dalam hidup mereka.

"Rasa sakit ini, tidak sebanding dengan apa yang kau lakukan pada kami."

"Bersyukurlah karena kami mempercepat kematianmu. Kalau tidak, kamu pasti akan menderita lebih lama lagi."

Samar-samar, Renia melihat senyum kemenangan yang berasal dari perempuan yang akan menjadi calon istri bagi suaminya.

'Kau kalah, bitch.' Ucap perempuan itu tanpa suara.

'Seharusnya aku tidak selemah ini. Seharusnya aku memperlakukan mereka dengan baik. Seharusnya aku tidak terpengaruh oleh wanita jalang itu. Tuhan... Aku tidak terima dengan kekalahan ini.'

Di tengah kesakitan itu, Renia berusaha mempertahankan kesadarannya. Dengan sendu, ia menatap Reno dan Revan yang sedang sibuk menikam seluruh tubuhnya.

"M-maaf dan t-terima kasih." Ucapnya lirih, diikuti dengan matanya yang terpejam sempurna. Tanpa disadari, ia mengeluarkan setitik air matanya.

Untuk pertama kalinya, Renia menangis.

Dan tangisan itu juga merupakan tangisan terakhirnya sebelum pergi meninggalkan dunia-- di tangan putranya sendiri.

Seorang pria yang memiliki wajah rupawan bak dewa memasuki ruangan tersebut. Dengan sekali jentikan jari, semua orang yang ada dalam ruangan itu berhenti bergerak, dan hanya diam bagai patung. Pria itu mendekati Renia, tatapannya terlihat rumit. Perlahan, ia mengulas sebuah senyum misterius.

Jiwa yang mati dengan penyesalan, heh?

"Hm, kurasa akan sangat menarik kalau dia kembali mengulang waktu."

"Wanita malang... Takdirmu begitu kejam." Meski nadanya terdengar iba, ekspresi pria itu justru menampilkan raut penuh kepuasan.

Tangan pria itu terulur untuk menyentuh kepala Renia. Sebuah cahaya putih keluar dari tangannya. "Aku yang akan menjadi pengawasmu di kehidupan berikutnya. Ku harap, kau akan memainkan peran terbaik yang membuatku puas dan tidak menyesali keputusan ini."

Beberapa saat kemudian, semua orang yang ada di ruangan itu perlahan mulai memudar. Seluruh jam yang ada di dunia berputar mundur dengan cepat. Dalam sekejap, ruangan itu menjadi kosong. Seperti tidak pernah ada tanda-tanda kehidupan pada tempat itu.



_____•••••_____

Haii, selamat datang di cerita ini. Aku masih penulis amatir, jadi harap maklum kalau ke depannya akan ada plot yang rancu atau tidak sesuai dengan idealis yang ada. Maaf juga kalau ada typo atau kesalahan kata lainnya.

Silahkan memberi komentar berupa kritik, saran, atau lainnya. Aku sangat berterimakasih untuk itu. And don't forget to vote:)

Semua dukungan kalian sangat berarti buat aku.

Selamat menikmati cerita ini, semua!

30-03-23
TBC

The Antagonist's Wound || Rebirth Of ReniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang