Kegiatan Menuju Kegelapan

109 29 12
                                    

Kicauan burung di pagi itu menembus telinga seorang lelaki yang masih tidur pulas di atas kasurnya. Tigor pun terbangun. Tidurnya tidak nyenyak malam ini. Walau kepala masih terasa berat, Tigor harus bergegas bangun karena hari ini ia akan mengikuti perjalanan bersama unit kegiatan mahasiswa di kampusnya. Rambut hitam keritingnya masih berantakan menambah kesan yang pas untuk peran antagonisnya. Sebagai pribadi yang ceria, Tigor memang senang bermain drama. Tapi baru kali ini ia mendapat peran sebagai antagonis utama dalam naskah drama yang akan dimainkannya dalam sebuah perlombaan.

"Kau yakin mau pergi, Gor?"

"Yakinlah, Mak! Lagian kegiatan begini bisa buat seru-seruan," jawab Tigor sembari berjalan menuju kamar mandi.

"Kau tau para siluman masih banyak berkeliaran dan anehnya kau malah mau rekreasi ke hutan."

"Ini bukan rekreasi lho, Mak. Kami ada kegiatan di sana, paling juga nanti buat latihan drama," Tigor langsung menutup pintu kamar mandinya.

Sekitar setahun lalu, ayah Tigor menjadi salah satu korban teror di sebuah persimpangan jalan. Semenjak saat itu, ibu Tigor tak ingin kehilangan satu-satunya keluarga yang paling dicintainya. Tigor adalah anak tunggal dan sangat dimanja sejak kecil, tapi anehnya ia tak begitu manja dengan ayah dan ibunya.

"Oh iya, Nina ikut juga kan?"

"Pastilah Mak, mana mungkin manusia aktif seperti dia melewati kesempatan ini," jawab Tigor sembari tertawa lebar dan langsung disambut dengan senyuman ibunya yang tipis.

Pagi itu sarapan terasa nikmat sekali. Padahal menu sarapan seperti biasanya, hanya rebusan bayam dan sambal telur mata sapi sebagai lauknya. Tetapi Tigor begitu lahap menyantap makanannya.

"Pelan-pelan, jangan buru-buru," tegas ibunya sembari menuangkan segelas susu.

"Aku udah dewasa Mak, harus pandai mengatur waktu."

"Ya sudah, hati-hati di sana yah, jangan lupa beri kabar kalau sudah sampai. Tante Ira akan menginap di sini untuk menemani mamak," jelas ibu Tigor sembari memberikan ciuman di pipi kepada anak kesayangannya itu.

Tigor pun meninggalkan rumah dan bergegas menuju titik kumpul di kampusnya.

Dari kejauhan sudah terlihat lambaian tangan dari seorang gadis berambut hitam lurus sepundak, memakai celana panjang dengan banyak kantong juga jaket sebagai pelengkap. "Woy! Sini," panggil gadis tersebut.

Dia adalah Nina, makhluk biasa yang tingkah lakunya melebihi siluman yang kini sedang menggemparkan dunia. Bagi Tigor, dia hanyalah masalah yang selalu membayangi dirinya. Tapi kesetiaan Nina sebagai sahabat patut diacungi jempol, mereka sudah bersahabat sejak SMP.

"Kau telat, ngapain aja sih? Dasar."

"Aku harus sarapan, mana tau tadi pagi adalah sarapan terakhirku," Tigor menjawab sambil memainkan alis matanya.

Nina langsung menggandeng tangan Tigor. "Kau bicara apa sih, saat begini masih saja bercanda."

"Mana anak yang lain?" tanya Tigor heran, melihat di sekitar hanya ada sebuah bus yang sedang berhenti di pinggir jalan utama gerbang kampusnya.

"Mereka sudah di dalam bus, menunggu monster pemalas yang akan segera memangsa mereka," jawab Nina sambil menarik tangan Tigor menuju bus.

Saat kaki mulai melangkah menaiki bus, semua mata menatap Tigor.

"Telat lagi, Gor," sambut pria berkaca mata hitam dengan kepala botak dan hanya menyisakan sedikit rambut di bagian depannya.

Dia adalah Pak Jengga, pembina klub teater di kampus. Dan satu-satunya alasan yang terkadang membuat Tigor malas saat ada di klub. Pembina yang satu ini suka sekali mengatur tanpa tau apa yang ia perintahkan, taunya hanya menyuruh saja. Egois, memaksakan kehendak, dan jagonya membentak.

Tigor dan Nina pun mulai mengambil tempat duduk yang tersisa. Sudah pasti di bagian depan, karena tidak ada anggota klub lain yang nyaman duduk di dekat pembina yang super seperti Pak Jengga.

Akhirnya bus pun mulai melaju menembus udara dingin pagi itu. Jam sudah menunjukkan pukul 09.20 akan tetapi matahari belum berani menunjukkan wujudnya. Kota Medan diselimuti cuaca mendung tanpa rintik yang menghasilkan udara sejuk tanpa terik.

Setelah melewati perjalanan sekitar dua jam, akhirnya bus yang melaju sampai di lokasi yang dituju. Hentakan kaki yang turun dari dalam bus menambah semangat para anggota klub teater untuk segera mendirikan tenda.

"Jangan lupa, kita bukan liburan! Kita hanya beristirahat dari kerasnya latihan untuk persiapan minggu depan," Pak Jengga memecah suasana. Hati gembira yang dirasakan mahasiswa seketika lenyap dihembus angin.

"Kita juga akan latihan di sini."

"Kalau kita ke sini hanya untuk latihan, mending kita kembali ke kampus," celetuk Tigor dengan wajah tak bersalah.

"Manusia yang memiliki pendirian berwarna abu-abu sepertimu tak akan mengerti. Sampai kapan pun kau tak akan menggapai tujuanmu. Ketika sedang berperan lupakanlah siapa jati dirimu sebenarnya Tigor," Pak Jengga melotot dengan wajah menahan amarah.

" Ini adalah tempat yang pas untuk memainkan drama yang akan kita lombakan. Kita akan menunjukkan bahwa tidak sepenuhnya anggota SAMBAS itu berhati ikhlas dan bersih.  Mereka hanya memanfaatkan ketakutan yang dirasakan oleh warga untuk mendapatkan uang," Pak Jengga menjelaskan maksud dan tujuannya dengan panjang lebar. Inilah sulitnya ketika salah berbicara dengannya.

Dia memiliki dendam pribadi karena gagal masuk ke dalam Satuan Pembasmi Siluman atau biasa disebut SAMBAS. Satuan khusus ini didirikan sekitar dua tahun yang lalu saat korban siluman sudah banyak berjatuhan.

Para anggota klub pun mulai sibuk satu sama lain untuk mempersiapkan tenda mereka karena mendung sudah benar-benar menggumpal begitu gelapnya di langit-langit alam siang itu.

TIGORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang