Auman Senja

71 33 19
                                    

Sekitar pukul 14.00 Siang semua anggota klub mulai menyantap mie instan sebagai menu makan siang.

"Setelah ini kalian silahkan istirahat. Jam 4 Sore kita kumpul lagi di sini!" tegas Pak Jengga dengan suara lantangnya.

Seperti biasa, Pak Jengga tak akan membiarkan anggotanya berpikir dengan santai. Tetap ada tekanan batin yang harus merasuki jiwa anggota klub teater tersebut.

"Eh, Gor. Kemarin ada korban tewas di dekat persimpangan sebelum kita masuk ke area perkemahan ini lho," Nina memulai pembicaraan sambil menyeka air matanya.

"Kenapa kau nangis?" tanya Tigor heran.

Tiba-tiba saja Nina melotot. Nafasnya mulai tersengal. Wajahnya  mendekati pipi Tigor. Poni rambutnya terasa merayap di daun telinga. Perlahan-lahan sesak itu semakin dekat. "Pedas dodol," ujar Nina sambil menepuk bahu sahabatnya itu.

"Jangan bercanda Nin, ini bukan di rumah lho."

"Aku gak bercanda kok. Cuma heran aja, waktu bus kita lewat persimpangan itu, tak ada satupun SAMBAS yang sedang berjaga atau patroli."

"Mungkin kasusnya udah ditutup kali,  lagian siluman itu gesit, gak akan mati hanya dengan tembakan," balas Tigor sambil melahap sisa mie instannya.

Iya juga sih, itu sebabnya aku selalu khawatir kalau ayahku sedang memburu para siluman itu."

Ayah Nina termasuk ketua SAMBAS area Medan Kota, dan hampir setiap hari menyelidiki kasus seperti ini. Para siluman itu sangat senang melakukan aksinya di tempat umum dan yang lebih parahnya lagi mereka menyerang dengan membabi buta.

Sudah dua bulan terakhir siluman yang menyerupai harimau menggegerkan kota Medan, beberapa kali sempat terekam cctv kota, berdiri tegak seperti manusia, wajahnya penuh bulu dengan corak oranye juga belang hitamnya. Bagian depan tubuhnya berwarna putih, dan bagian belakang persis seperti harimau dengan belangnya. Siluman itu menghabisi manusia dengan cakarnya, ditambah gaya bertarung yang sama seperti seorang pendekar menjadikan dia sangat sulit ditangkap.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu,  sudah pukul 16.00 Sore. Sesuai kesepakatan, para anggota klub sudah terlihat berkumpul untuk menuruti perintah Pak Jengga.

Dengarkan baik-baik. Kalian akan bermain kejar-kejaran di hutan sana,"  Pak Jengga menunjuk area hutan di depan anggota klub berkumpul. "Semua harus memainkan peran sebaik mungkin. Tak ada senyum dan tawa bila itu tak tertulis di naskah. Tigor sebagai siluman akan mengejar kalian, lalu Rian sebagai SAMBAS tak akan melayani keluhan kalian wahai rakyat-rakyat miskin," seperti biasa Pak Jengga panjang lebar menjelaskan.

"Apaan sih Botak!" celetuk Nina.

"Haha, aku udah tau sih kita ke sini bakal buat latihan," jawab Tigor.

"Tapi menurutku naskah ini aneh dan terlalu menyudutkan SAMBAS. Bisa durhaka aku," jelas Nina sambil memainkan poni yang menutup mata kirinya.

"Tigor... Nina!" suara Pak Jengga tiba-tiba terasa mengaung di hadapan wajah mereka berdua.

"Maaf Pak, tadi Tigor cerita ke saya, katanya takut durhaka karena berperan sebagai siluman," Nina berusaha memelas. Anak-anak yang lain tak sanggup menahan tawa mendengar jawaban Nina yang konyol.

"Sudah! Sekarang mulailah, keburu gelap nanti," Pak Jengga kembali memberi perintah diiringi dengan langkah kaki mahasiswa klub teater yang mulai memasuki hutan.

Sore itu udara terasa menusuk pori-pori kulit. Tigor membiarkan beberapa orang berlari memasuki hutan.

"Saatnya aku beraksi," gumam Tigor di dalam hati.

"Ingatlah peran yang kau mainkan. Jangan bercanda," Pak Jengga kembali mengoceh dari belakang.

Tiba-tiba saja Tigor tertawa lebar bagai siluman buas yang puas memakan mangsanya. Dia pun mulai berlari memasuki hutan.

"Kok Tigor seram banget," ujar Nina yang bersembunyi di rawa dekat sebuah aliran sungai kecil.

"Tapi dia ganteng tau, apalagi dari samping begini, hidungnya itu lho, menggoda," Lindri yang berada di samping Nina ikut berkomentar.

"Yeee, malah nafsu Si Goblok."

"Kagum lho, kagum," balas Lindri.

Tigor berjalan meninggalkan Nina dan Lindri. Dia mengikuti aliran sungai kecil itu. Ada tapak kaki yang menyusuri rawa sepanjang sungai.

Wooarggh! Tigor menerkam Viona salah satu pemeran warga dalam drama yang mereka mainkan. Viona berusaha melepaskan kakinya dari cengkraman Tigor. Tiba-tiba Tigor melepaskan Viona begitu saja dan dia langsung kabur berlari menjauhi Tigor.

"Kok dramanya sampai bermain di area seluas ini?" Tigor bertanya dalam hati. "Apa hanya untuk melatih peran kami minggu depan?" Tigor masih heran karena naskah mereka tak perlu dimainkan di area seluas hutan apalagi dengan kejar-kejaran.

Tiba-tiba angin berhembus lembut namun terasa mengendap di kulit. Dari balik semak seorang wanita sekitar umur 40 tahun keluar dengan mata yang tajam. Wanita itu mendekati Tigor, pakaiannya rapi hanya rambutnya yang sedikit acak-acakan.

"Apakah kau ingin membunuh gadis itu?" tanya wanita itu.

"Apakah ini jebakan dari Si Botak?" Tigor bertanya dalam hati. "Haha, jangan ikut campur atau kau akan kubunuh," Tigor masih tetap teguh memainkan perannya sebagai siluman.

"Tepat sekali, kau benar-benar membenci manusia," balas wanita itu sambil memegang kedua bahu Tigor.

Waktu seperti berhenti, dinginnya alam menyelimuti udara di sekitar, keringat Tigor membasahi badannya. Wanita itu berubah pucat, tatapannya semakin tajam dan perlahan sekujur tubuhnya berubah seperti siluman harimau yang sedang diincar oleh SAMBAS dua bulan terakhir ini.

Tigor tak bisa berkata apapun, mulutnya seperti terkunci dengan rapat, lalu badannya mulai terbaring di atas tanah. Makhluk itu menindih, dan kukunya yang tajam mulai mendarat di atas tubuh Tigor.

"Aku akan memasukkan siver ke jantungmu. Bertahanlah." taringnya menembus dada Tigor. Seperti paku yang menusuk kayu.

Seketika pandangan Tigor menjadi gelap. Tubuhnya benar-benar kaku. Hanya perih di bagian jantungnya yang terasa. Siluman harimau itu Perlahan-lahan kembali menjadi wanita semula, tapi badannya lebih kurus dan menyusut.

"Gatra akan menjemputmu. Dia akan membimbingmu." suara wanita itu mulai parau. Hingga akhirnya dia lebur menjadi abu di atas tubuh Tigor.

TIGORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang