Gelap. Sejauh mata menatap yang ada hanya gelap. Setengah sadar Tigor berusaha bangkit namun ia tak mampu.
"Ada dimana aku? Apa aku sudah mati?" Tigor bertanya dalam hati.
Tiba-tiba kegelapan itu semakin pekat, semakin tebal dan gulita. Arrghhh! Auman harimau mengejutkan Tigor bersamaan dengan matanya yang terbuka. Dengan tatapan yang masih sayu, Tigor melihat teman-teman berada di sekitarnya, seperti gula yang sedang dihampiri semut-semut kecil.
"Kau baik-baik saja kan?" Nina mengkhawatirkan Tigor, terlihat dari raut wajahnya.
"Udah mari kita bawa Tigor ke camp. Udah gak bener ini bermain di sini." Celetuk salah seorang lelaki diantara mereka. Dengan badan yang masih kaku serta jiwa yang masih berantakan Tigor pun tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya merasakan sedikit tenang saat teman-temannya mulai membopong tubuhnya menuju camp.
"Hey, ada apa ini?"
"Kita hentikan permainan konyol ini Pak." Nina sudah tak peduli walau sedang berbicara dengan seorang pembina.
Anak-anak yang lain mulai heboh dan sedikit panik atas apa yang terjadi. Bahkan mereka ingin segera pulang.
"Bus kita akan kembali ke sini besok pagi, jadi semuanya harap tenang. Pasti akan baik-baik saja. Pak Jengga sedang berusaha menenangkan anggotanya.
***Hari sudah mulai gelap. Keindahan senja Sore itu mulai tersapu oleh gelapnya langit malam.
Panasnya api unggun menghangatkan tubuh para mahasiswa di tengah dingin yang menyayat kulit. Tatapan Tigor masih kosong dan tak ada satu pun anggota teater yang mau mengusiknya dengan pertanyaan. Hanya Nina saja yang tepat berada di dekat Tigor.
"Sudah mulai enak badanmu?" Tanya Nina sembari menyodorkan mie instan ke hadapan Tigor.
Tigor hanya mengangguk tanpa mau berbicara sedikit pun. Dalam benaknya masih teringat kejadian sore tadi. Rasanya seperti mimpi namun itu nyata.
"Mau aku suapin?"
Sekilas Tigor melirik ke arah Nina, lalu mengangguk.
Kali ini para mahasiswa benar-benar menikmati liburan mereka. Canda tawa diiringi dengan petikan gitar tanpa perintah apapun dari Pak Jengga. Mereka sudah mulai melupakan kejadian yang menimpa Tigor.
Dinginnya malam itu menambah beku perasaan Tigor yang mulai kaku. Sebenarnya Tigor ingin menceritakan apa yang ia alami kepada Nina, namun keraguan begitu menyelimuti perasaan Tigor sehingga ia lebih memilih mengunci mulutnya.
"Woy, jangan melamun!" Teguran Nina memecahkan lamunan Tigor.
"Nggak kok." Balas Tigor singkat.
"Ya sudah, setelah ini kau langsung istirahat ya. Biar besok badanmu sudah enakan."
Tigor hanya mengangguk mendengar saran dari sahabatnya itu. Nina memang satu-satunya sahabat terbaik Tigor. Ia benar-benar khawatir dari awal mengetahui Tigor pingsan di hutan. Walau masih penasaran, tetapi ia tidak mau memaksa Tigor untuk menceritakan apa yang telah terjadi dan malah menyuruh untuk istirahat.
***
Malam itu hembusan angin terasa seperti gemuruh yang menyelimuti tenda. Tigor yang sedang terlelap pun bolak-balik mengubah posisi tidurnya yang mulai terusik. Sekilas matanya terbuka walau langsung ia coba pejamkan kembali. Hatinya gelisah seperti ada yang sedang mengawasi dari setiap sudut tenda tempat ia beristirahat. Riuh canda tawa anak-anak yang lain masih terdengar. Tigor pun terbangun dan langsung duduk dengan nafas sedikit terengah-engah. Hanya ada ia sendiri di tenda itu.
Tiba-tiba seperti ada hawa aneh yang menghantam tubuhnya. Disambut dengan suara lirih yang memanggil namanya. Walau ragu tapi Tigor memberanikan diri untuk bangkit dari tenda. Ada rasa hening di tengah riuhnya nyanyian para mahasiswa di benak Tigor.
Tigor mulai mencari celah di antara rawa yang mulai menutupi pandangannya. Suara itu semakin keras terdengar. Langkah demi langkah di bawah purnama Tigor berusaha mencari arah suara itu.
Tiba-tiba angin berhembus lembut, bulu kuduk Tigor mulai bangun dari tidur. Merasakan hawa keberadaan seseorang di belakangnya. Tigor pun memberanikan diri untuk menoleh, ragu-ragu ia mulai menggerakkan lehernya ke belakang. Ekhhh, seorang pemuda berwajah tinggi dengan postur tubuh yang tegap berisi berdiri tepat di hadapannya.
"Ternyata kau orang yang telah dipilih oleh Riana".
Tigor hanya terdiam membisu tidak mengerti maksud perkataan orang tersebut.
"Karena kepepet dihantam penyakit tanpa persiapan apa-apa dia hanya asal memilih orang. Dasar Tolol." Wajah lelaki itu terlihat kesal.
"Kau siapa?"
"Berhenti bertanya hal yang tak penting, karena mulai dari sekarang banyak hal yang harus kau pelajari. Aku akan membimbingmu." Mata lelaki itu sangat tajam menatap Tigor.
Suasana semakin mencekam, secara tiba-tiba pria misterius itu berubah wujud. Badannya diselimuti kulit tebal dan daun telinganya melebar. Dengan belalai yang terlihat jelas di hadapan Tigor membuat ia terdiam tanpa kata. Keringat dingin mengucur disambut dengan belalai yang dilepas oleh pria tersebut.
"Belalai ini bisa aku cabut untuk dijadikan senjata. Namun itu butuh keterampilan sekaligus terbiasa menahan rasa sakit."
Kaki Tigor tak mampu bergerak karena melihat kenyataan yang mengejutkan. Jantungnya masih bergetar tak tentu irama.
"Untuk pertahanan, aku sudah punya tubuh yang tidak diragukan. Akan tetapi dirimu yang memiliki kekuatan harimau begitu mengandalkan kecepatan dan kelincahan sebagai pertahanan dan menyerang." Pria itu masih terus membicarakan sesuatu yang menambah pusing kepala Tigor.
"Aku mohon, jangan ganggu aku." Tigor mencoba berbicara walau dengan bibir bergetar.
"Dahulu Riana hanya mengandalkan cakar untuk menghabisi korbannya. Kau butuh berlatih agar bisa lebih hebat lagi. Kau butuh jurus pelepasan seperti yang aku lakukan agar mendapat hasil yang optimal." Pria itu memutar-mutar belalainya bagai tongkat pendekar yang kokoh dan kuat.
"Siapa kau sebenarnya, dan apa maumu?" Tigor mulai memberanikan diri untuk berbicara walau diselimuti ketakutan.
"Namaku Gatra." Pria itu mendekati Tigor dan memegang pundaknya. Jantung Tigor semakin berdegup kencang tak karuan, wajahnya mulai dibasahi keringatnya sendiri. Rasa gerah luar biasa tapi tak bisa melangkah kemana mana.
"Mulai dari hari ini, kau telah ditakdirkan untuk menjadi Siluman."
"Tidak mungkin!" Tigor langsung membantah walau tak begitu peduli atas apa yang dibicarakan pria tersebut.
Pria itu tersenyum, lalu tiba-tiba ia menghantam Tigor dengan tongkat belalainya. Seketika Tigor terpental sejauh 5 meter.
Darah Tigor mengalir begitu cepat, jantungnya berdetak tak karuan, kulitnya mulai berubah penuh dengan bulu-bulu halus.
"Mulai dari sekarang kau harus mencari korban, 20 orang untuk 1 Bulan. Beri tanda gigitan di leher mereka."
"Apa maksudmu?"
"Kita ditugaskan untuk menghabisi manusia. Sesekali kita akan melakukan perkumpulan di kolong permata untuk mendengar instruksi dari Tuan Kama."
"Aku bukan budak kalian dasar Setan Biadab!"
"Kau tak akan bisa lari dari takdirmu ini."
Akhirnya tubuh Tigor kembali berubah menjadi manusia normal. Tanpa pikir panjang ia pun bergegas pergi meninggalkan lelaki tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
TIGOR
Misterio / SuspensoTigor adalah seorang mahasiswa semester tiga di kampusnya. Tak ada semangat bagi Tigor untuk menjalani kuliah karena dunia sedang kacau sejak tiga tahun terakhir. Ada banyak sekali korban pembunuhan yang ditemukan di tempat-tempat umum dari mulai ka...