Aku bangun membuka mata dan memfokuskan penglihatan ku, merasa aneh saat pandangan asing lah yang ku lihat. Beberapa menit kemudian aku baru sadar jika kini sedang berada di kamar Bumi.
Aku menunduk, melihat Bumi yang masih terlelap tidur. Aku ingat kemarin dia jatuh sakit. Demam nya sudah turun, tapi masih terasa panas.
"Bumi." Ku panggil dia, merasa kasihan saat dia malah semakin meringkuk memeluk ku erat.
"Baiklah, kamu lebih baik cuti saja hari ini."
Ku ambil hp di atas meja walau sedikit susah, segera ku telepon bang Daffa dan meminta ijin untuk tidak masuk kerja. Dia tentu saja terkejut, katanya toko akan kewalahan jika dua orang karyawan tidak masuk sekaligus. Tapi aku tak peduli, aku merasa tidak boleh meninggalkan Bumi begitu saja.
Aku bangun setelah membenarkan posisi tidur Bumi, selanjutnya aku berfikir, apa seharusnya aku pulang dulu sebentar lalu membawa beberapa keperluan untuk Bumi? Dapur nya benar benar kosong. Disini juga tak ada baju yang cukup untukku mengingat ukuran tubuh Bumi lebih kecil.
"Sebentar, hanya sebentar."
Bumi nampak nya tak akan buru buru terbangun. Maka ku putuskan untuk pulang membawa baju ganti lalu mampir membeli beberapa bahan makanan pokok dan camilan di swalayan, walau sedikit sulit karena sebagian besar toko masih belum buka.
Aku cukup kewalahan tapi entah kenapa terasa menyenangkan. Aku kembali ke rumah Bumi, terdengar suara dentingan alat makan. Ku tengok, Bumi sedang berusaha makan bubur kemarin yang ku buat. Padahal bubur nya pasti dingin.
Segera ku tahan, ekspresi sedih nya saat makan membuatku marah pada diriku sendiri karena meninggalkan Bumi terlalu lama.
"Aku buatin sarapan yang baru, simpan itu ya."
"Awan..." Bumi kembali memeluk erat, entah kenapa dia yang seperti ini sangat sangat terlihat rapuh. Dia kentara sekali tak mau ditinggalkan.
"Iya, maaf ya tadi aku habis pulang dulu sebentar." Ku usap rambutnya yang sedikit basah karena keringat, lalu ku cek suhu tubuhnya yang kembali terasa sangat panas.
"Setelah ini kita ke dokter ya."
Segera ku buatkan Bumi salah satu menu makanan yang ku buat jika sakit. Dia nampak menyukainya, walau katanya lidahnya terasa pahit tapi satu mangkuk sup kaldu itu habis juga.
Setelah bersiap segera ku pakaikan Bumi pakaian hangatnya lalu kami pergi ke dokter terdekat. Syukurnya antrian tidak terlalu panjang hingga Bumi bisa ditangani segera.
Kelelahan, stress, pola makan yang kurang dijaga, banyak sekali pr yang harus ku perhatikan pada Bumi. Bahkan dokter bilang berat badan nya tak sesuai. Berat badan 55 kg untuk tinggi badan 170 cm itu terlalu kecil untuk laki laki.
Kami pulang setelah menebus obat dan beberapa vitamin. Aku juga membeli pil penambah darah, karena sepertinya Bumi membutuhkannya.
"Bumi, kamu harus banyak makan." Ku cubit kedua pipi itu, sengaja ku jejal dia buah buahan supaya punya tenaga.
Kami duduk diatas sofa kecil ini, Bumi masih lemas dan bahkan masih setengah sadar. Dia mengunyah buah buahan dengan enggan, sedih nya nampak lagi.
"Jangan nangis, kita sudah besar harus bisa jaga diri sendiri. Kalau kamu kesepian panggil aja aku."
"Awan, kenapa baik?" Bumi bertanya pelan sekali, bahkan terdengar seperti sebuah bisikan.
Aku menoleh berusaha melihat wajahnya, dia menunduk dalam dengan tangan yang tak mau lepas dari baju ku. Tingkah ini sungguh menyedihkan, aku sampai bertanya tanya... disaat Bumi sakit sebelum sebelumnya, siapa yang selalu mengurusnya, dia benar benar sendirian?

KAMU SEDANG MEMBACA
BUMI-KU
Romance(TAMAT) Dia manis seperti kue yang dia buat sendiri. Tampilannya juga cantik dan menawan hingga tak banyak orang berani menyentuh sembarangan. Namanya Bumi, lelaki mungil yang terampil membuat kudapan manis di toko roti. Pujaan hati yang ku harap bi...