tujuhbelas

7.5K 839 34
                                    

Sembari mengaduk teh di pantry, aku mengintip Kafka yang duduk di sofa ruang tamuku dengan tenang. Well, aku nggak mungkin mengusirnya ketika cowok itu sendiri yang meminta izin untuk bertamu bukan? Apalagi Kafka nggak datang dengan tangan kosong.

Meski sebenarnya ada begitu banyak yang ingin aku tanyakan, aku tetap nggak mau menuruni harga diriku. Seperti yang Raya bilang, setiap ada cowok yang mendekatiku dan aku lumayan interest sama dia, aku memang sengaja mengulur-ngulur waktu demi melihat kesungguhan mereka. Make sense kan kenapa aku single untuk waktu yang cukup lama. Karena belum ada cowok yang berhasil meluluhkan hatiku sampai ke tahap yang bikin aku, fix gue harus pacarin nih cowok!

Aku nggak ingin membandingkan kehidupanku dengan teman-temanku yang semuanya sudah berkeluarga. Cuma, kupikir, aku telah di fase yang bukan untuk bermain-main lagi. Menikah memang bukan fokusku. Tapi hidup seperti Tari di early twenties sama sekali nggak bijak.

Aku mengizinkan Kafka masuk ke dalam apartemenku dan memintanya untuk menunggu sebentar karena aku mau mengganti baju. Saat membukakan pintu untuknya, aku masih menggunakan jubah mandi. Dia sempat membulatkan matanya kaget ketika aku membuka pintu lebih lebar. Ekspresi kikuknya cukup menggemaskan di mataku. Jika tidak mengingat dia tiba-tiba menghilang, mungkin aku akan memujinya secara verbal.

"So, how are you?" tanyaku setelah meletakkan teh untuknya di atas meja.

Aku duduk di sebelahnya, dengan jarak mungkin sekitar 100 cm untuk menekankan kalau aku dan dia sudah nggak sedekat dulu.

Kafka sepertinya cowok yang peka. Ia memandangi jarak kami sebentar sebelum mengeluarkan senyum tipis seolah ia paham akan sikapku.

"I'm good," jawabnya lalu menatapku. "How are you?"

"I feel great!" balasku sembari merentangkan tangan dan senyum lebar. "So great!"

Sebentar, sikapku nggak berlebihan nggak sih?

"I can see that," cowok itu menyeringai sambil mengangguk-ngangguk kecil. "Oh ya, ini buat lo. Bolu Meranti."

Mataku otomatis tertumbuk pada paperbag yang disodorkan Kafka. Sesuatu yang sedari tadi ia jinjing.

"Gue ada seminar tiga hari di Medan." Jelasnya yang membuatku langsung menatapnya. "Tadi siang baru nyampe."

Aku membuka mulutku. Mulai paham kenapa
Kafka menghilang selama tiga hari ini. Tapi itu tetap nggak jadi alasan dia nggak menghubungiku dong?

"Nyampe Medan, gue baru sadar nggak bawa charger hape." Seolah bisa membaca pikiranku Kafka menambahkan. "Dan di sana hetic banget. Kesialan lainnya, hape gue jatuh pas di parkiran hotel terus dilindes mobil," Kafka tertawa kecil. Menganggap kesialannya sebuah sitkom komedi. Ia bahkan menunjukkan bukti fisik Iphone 12 pro max miliknya yang layarnya telah pecah. Mungkin sudah nggak bisa tertolong.

"Ada orang yang Iphone-nya kelindes tapi masih bisa ketawa." Komentarku bercanda. Namun berhasil bikin tawa Kafka makin besar.

"...so?"

"So...what?" aku mengangkat alis.

"Udah nggak marah lagi sama gue?"

"Huh?" aku sok kaget. "Kenapa gue harus marah sama lo?" tanyaku lalu tertawa dengan kaku. "Memangnya lo bikin kesalahan sama gue?"

"I think so..." cowok itu mengangguk. "Lo tiba-tiba judes saat kita ketemu di depan supermarket. Dan sekarang..." Kafka memberi pandangan pada jarak 100 cm kami. "Elo menjaga jarak dengan gue."

Sial. Aku memejamkan mata sambil menundukkan wajah. Benar-benar malu sampai ketahuan begini. Kucoba untuk mencari alasan lain yang make sense. Sumpah. Nggak keren banget kalau Kafka berpikir aku memang marah padanya karena dia nggak menghubungiku selama tiga hari ini.

I Think I'm SexyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang