empatpuluhtiga

5.7K 501 9
                                    

"Eh! Johnny Gilbert. Nggak usah kegatelan sama pegawai gue!" hardikkan Dira membuat Johnny mendelik. Sementara Reisa meringis dan menundukkan kepalanya tak enak hati pada Dira. Melihat itu, Johnny terpaksa menarik kakinya mundur dan duduk lagi di sampingku.

"Makin galak aja Dira sejak jadi emak-emak," ucapnya sambil melirik Dira yang masih melotot sebelum akhirnya menyusun cake-cake di dalam etalase.

"Makanya jangan kegenitan," tukasku. "Kebiasaan buaya emang susah ilang ya."

"I just being nice." Alasannya. "Rere anaknya pemalu. Kenapa di tempatin di kasir sih?"

"Rere?" aku menyipitkan mata.

"Oh, gue manggil dia Rere. Biar akrab."

Aku memutar bola mata. Back again, si cassanova Johnny.

Don't get me wrong, aku bukannya sedang cemburu. Apalagi sedih dia tidak lagi menaruh perhatian padaku lebih dari teman. Justru ini hal yang bagus. Johnny menunjukkan ketertarikkanya pada cewek lain. Kami lagi-lagi membahas hubungan kami setelah aku memberitahunya apa yang terjadi saat kau menjemputnya yang mabuk. Satu bulan hubunganku dan Johnny dingin. Kami tidak bertegur sapa meski berpapasan satu kali pun.

Lalu di suatu pagi, dia mendatangiku di kubikel, memberiku segelas hot americano dan berkata. "Gue udah sadar kalau kita nggak ada kesempatan. Let's be real friends, Tar. Gue udah kehilangan lo sebagai cewek yang gue sayang. Gue nggak mau kehilangan sebagai teman."

Tidak semua persahabatan yang antara cewek dan cowok akan berakhir seperti film Love, Rossie. Atau kisah Dira dan Lando. Sejujurnya, aku tidak menyesal tidak pernah mengungkapkan perasaanku pada Johnny. Bisa saja aku implusif, namun entah kenapa, aku merasa itu bukan hal yang benar. Meski aku menyukainya pada saat itu, aku sama sekali tidak bisa melihat masa depanku dengan Johnny. Kami terlalu berisko untuk mencoba-coba. Aku juga merasa kami tidak akan cocok bila jadi pasangan. Kami berdua keras kepala. Hubungan kami hanya akan banyak diisi dengan pertengkaran.

"She's too young, Jon. Masih semester lima." Aku mengingatkannya. Hal yang bagus Johnny tertarik pada cewek lain. Tapi Reisa masih terlalu muda untuk menghadapi kenakalan Johnny.

"Hey, lo jangan negative thinking kayak Dira dong!" protesnya. "Gue benaran mau being nice aja sama Rere. Dia kayak adek buat gue."

"Adek?" wah, aku sampai tidak bisa menahan tawa. "Adek yang niatnya ingin lo tidurin, begitu?"

"Sssst, Tari!" Johnny mendesis panik. Dibekapnya mulutku. "Lo mau bikin gue kelihatan kayak cowok PK banget ya?"

"Gue serius." Kutepis tangannya. Menatap Reisa yang kini sedang melayani pembeli. "Kalau lo bosan dan butuh afeksi dari cewek. Jangan Reisa deh. Dia masih kecil. Jangan lo rusak. Lagian lo kehabisan stok cewek atau gimana sampai ngegebet abege gini."

"Dia nggak abege. Rere udah dua puluh tahun."

"Dan lo sama dia beda sembilan tahun!"

Aku bicara begini bukan tanpa alasan. Johnny tidak mungkin tiba-tiba datang ke kafe Dira kalau bukan karena Reisa. Saat dia menanyakan aku dimana—aku sudah menebak dia akan menyusulku begitu tahu aku di kafe Dira. Bukan karena dia ingin menemuikku. Tapi karena cewek cantik di belakang meja kasir itu. Pertama kali Johnny melihat Reisa di sini, aku sudah menangkap ketertarikan di matanya.

"Apalah arti sebuah umur," sahutnya sewot.

"See," aku tersenyum miring. Menangkap basahnya. "Lo memang tertarik sama Reisa."

***

"Tariiiiiii," panggilan ceria dari Agnes membuatku berpaling dari layar laptop. Cewek berdada montok dari divisi Marketing itu tersenyum sumringah saat bersandar di kubikelku.

I Think I'm SexyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang