duapuluhdua

7.1K 712 29
                                    

"Kenapa lo, Tar? Senyum-senyum sendiri?"

Aku mengangkat wajah. Mendapati Tasya mengerutkan keningnya, menatapku dengan tatapan penuh curiga. Tidak ingin menjadi bahan gosipnya, aku langsung merampas tasku di atas meja. Kemudian bangkit berdiri. "Pengin tau aja lo."

"Dih, nanya doang juga!" deliknya yang tentu saja kuabaikan karena perhatianku sudah tersita penuh pada ponselku yang berdering. Nama Kafka tertulis di sana. Senyumku otomatis merekah, menekan tombol hijau seraya melangkahkan tungkai kakiku meninggalkan kubikel. Tak lupa kulabaikan tangan pada Tasya yang masih melemparkan tatapan penasaran.

"Kenapa, Kafka? Ini udah mau jalan pulang kok. Kangen banget ya sampai nggak bisa nunggu."

Kafka tertawa renyah atas godaanku. "Aku lagi di supermarket. Bingung mau beli cola atau fanta. Kamu sukanya apa?"

"Sukanya kamu," jawabku lalu memencet tombol lift. Menunggu pintunya terbuka.

Cowok itu tertawa lagi. "Kalau itu aku udah tahu."

"Yah, udah tahu ya," balasku pura-pura kecewa. "Nggak seru."

"Nanti aku tunjukkin sesuatu yang seru."

"Aw, can't wait." Pintu lift terbuka. Ada tiga orang di sana. Tidak mungkin bertelpon mesra di dalam lift dan didengar oleh anak kantor. Aku pun menyudahi panggilanku dengan Kafka usai mengatakan kalau aku lebih suka cola. Sebelum panggilan berakhir, Kafka berpesan agar aku berhati-hati menyetir. Perhatian sekali.

Well, sudah satu bulan statusku dan Kafka berubah menjadi pacaran. Kami pun telah mengganti panggilan kami dari gue-elo ke aku-kamu. Satu bulan berlalu terlalu cepat. Setiap kali aku menghabiskan waktu bersama Kafka, aku rasanya ingin menghentikan waktu biar bisa lebih lama bersamanya. Padahal kami setiap hari bertemu. Apalagi jarak tempat tinggalku hanya satu langkah darinya. Dia bukan pacar lima langkah. Tapi pacar satu langkah. Kurang dekat apa coba?

Namun tetap saja aku merasa kurang. Apalagi Kafka selalu menolak kalau aku memintanya menginap.

"Udah malam. Tidur di sini aja. Tempat tidurku gede kok. Muat buat kita berdua," kataku sambil mengedipkan mata genit.

Kafka terkekeh. Mengusap kepalaku. "Aku pulang ya. Good night, Tari," katanya lalu membalikkan badan dan keluar dari unit apartemenku.

Mungkin aku terlalu blak-blakan. Tapi aku gemas banget ngeliat sikap Kafka yang kelewat sopan. Atau bisa jadi, dia merasa terlalu cepat buat kami tidur bersama. Bagaimanapun, kami baru satu bulan berpacaran. Seharusnya aku menikmati saja momen-momen lucu kami ini. Memang dasar, sel jalang dalam tubuhku tidak bisa melihat cowok hot nganggur sedikit. Setiap kali berdua bersama Kafka. Dia selalu saja membisikkan pikiran-pikiran tidak senonoh yang membuatku jadi kepanasan sendiri.

Kafka juga tipe cowok yang punya kontrol diri yang bagus. Dia tahu kapan harus berhenti ketika kami sudah mulai terlalu jauh. Kadang itu bikin aku frustasi dan gemas sendiri sih. Kenapa pengandalian dirinya sekuat itu sih?

Berpacaran dengan Kafka terasa sangat berbeda dengan mantan-mantanku sebelumnya. Bisa jadi karena aku dan Kafka sama-sama sudah dewasa. Satu bulan ini, hubungan kami sama sekali tidak ada drama. Aku dan Kafka sepakat untuk bertemu langsung di apartemen alih-alih jemput-menjemput. Kantorku dengan kampus tempat Kafka mengajar berbeda arah. Nggak efektif kalau dia menjemputku di kantor. Kami pun tinggal di gedung yang sama. Kalau kangen tinggal nyebrang pintu saja. Intinya, segalanya terasa mudah saat bersama Kafka.

Aku membenahi penampilan begitu sampai di depan pintu apartemen Kafka. Setelahnya kupasang senyum cantik sambil menekan bel pintu apartemennya. Nggak lama kemudian, pintu terbuka, menampakan seraut wajah Kafka yang nampak ganteng dengan kaos hitam dan celana pendek rumahannya.

I Think I'm SexyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang