duapuluhdelapan

6.3K 552 35
                                    

Normally, ketika in relationship dengan seseorang. Aku dan beberapa dari mantanku jarang membahas keluarga masing-masing, apalagi sampai membawa menemui keluarga. Itu seperti sesuatu yang asing untuk dilakukan. Beberapa kencan yang kulakukan hanya berfokus pada aku dan dia. Having fun bersama, melakukan kegiatan yang menyenangkan berdua, liburan, clubbing, ngedate—hubungan kami berhasil saat masa-masa senang saja. Ketika kesulitan datang, kami nggak bisa menghadapinya dan berakhir berpisah.

Pengalaman berpacaranku memang tidak ada yang membanggakkan. Namun aku tidak menyesali semua hubungan yang pernah aku jalin dengan mantanku. Meskipun, hubungan itu sangat toxic sekalipun. Menyesali apa yang sudah terjadi nggak ada gunanya. So, I choose to move on. Anyway, show must go on, right?

And this my first time. Bohong banget kalau aku bilang aku nggak gugup. Bahkan semalam aku tidak bisa tidur. Kendati aku sudah pernah bertemu dengan Mamanya Kafka. Still, pertemuan kali ini berbeda. I'm his son's girlfriend. Sekali saja aku melakukan sesuatu yang tidak berkenan, hubunganku dan Kafka bisa terancam. Aku yakin Kafka tipe anak yang mendengarkan orang tuanya. Jika orang tuanya tidak menyukaiku. Berakhir sudah hubungan kami. Oh, my mind make being such a drama queen right now.

"Trust me, orang tuaku bakal suka sama kamu." Membaca kegugupanku. Kafka terus memberi stimulus berupa pujian buat menenangkanku. "Mama juga udah pernah ketemu kamu, kan? Dia bilang aku nggak salah pilih cewek. Kamu cantik."

"Aku yakin Mama kamu nggak ngeliat cewek dari segi cantiknya doang," balasku lalu membuang napas. "Gimana kalau Mama kamu nanya berapa IPK aku dulu?"

Kafka tertawa. "Mamaku nggak akan nanya itu ke kamu, Tari."

"Aku nggak akan mengecewain mereka, kan?" tanyaku was-was.

"Nggak akan." Kafka menggeleng tegas. Lantas melepaskan salah satu tangannya dari kemudi stir dan mengambil tanganku di atas pahaku untuk ia genggam. "Kamu loveable. Kamu bakal cocok sama Mama."

"Yeah, I wish," desahku. Menghempaskan kepala ke sandaran jok mobil.

Kafka kembali tertawa. Kemudian mengalihkan pembicaraan dan melontarkan lelucon guna mengalihakan perasaan gugupku. It works. Untuk beberapa saat saja. Begitu mobil Kafka memasuki perkarangan rumah yang cukup luas. Jantungku kembali bedebar. Aku mengusap tanganku yang berkeringat. Mencoba menenangkan diriku sendiri.

Okay, Tari. Calm. Lo bukan cewek pengecut. Lo pasti bisa menghadapi ini.

"Mau pulang aja? Kalau kamu belum siap, nggak apa-apa kok."

"Mana mungkin pulang kalau kita udah sampai sini." Tanpa sadar aku berkata ketus pada Kafka. Aku membuang napas kemudian menatap Kafka yang menyesal. "Sorry..."

"It's okay." Kafka mengusap kepalaku. Selama beberapa saat, kami tidak bicara atau bergerak dari posisi masing-masing. Kafka memberiku waktu untuk benar-benar mempersiapkan diriku.

Kutoleh kepalaku dan mendapati Kafka tengah memandangku lembut. Seketika, hatiku jauh lebih tenang. Aku tersenyum padanya seraya mengulurkan tangan untuk mengenggam tangan cowok itu. "Ini pertama kalinya aku ketemu pasangan keluargaku. Maaf ya kalau aku over reaction."

"Nggak over reaction. Semua orang juga bakal gugup kalau ketemu calon mertua," kerlingnya.

Aku mendengus. "Calon mertua banget nih."

"Memang Mama Papaku calon mertua kamu, kan?" sahutnya lalu mengajakku turun dari mobil. Aku tidak menolak kali ini. Memantapkan hatiku untuk menghadapi semua ini dengan berani.

Kafka membuka pintu rumahnya kemudian mengajakku masuk ke dalam. Sejak awal aku sudah bisa menebak jika Kafka berasal dari keluarga berada. Ketika melihat pagar rumahnya yang menjulang tinggi, aku tahu kalau rumah orang tuanya lumayan besar. Aku sudah terpana dengan desain modern bangunan dua tingkat yang terlihat begitu trendy. Aku sama sekali tidak begitu paham soal dunia arsitektur. Tapi rumah orang tua Kafka termasuk rumah terkeren yang pernah kunjungi.

I Think I'm SexyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang