2. Heartbeat

21 3 0
                                    


Sebilah pisau ada di genggaman. Anak laki-laki itu merasakan seluruh raganya bergetar. Aroma anyir menguap bersama udara. Bersamaan netra yang bergetar dan raga bak terjerat ratai ia menjatuhkan pisau itu kala seorang pria datang lantas menodongnya sebagai pelaku.

"Bukan aku pelakunya."

"Itu bukan salahku."

"Tolong percayalah...."

Bak sebuah jiwa yang tertarik dari raga Kin berteriak sekuatnya. Ia sontak tersadar dari alam mimpi dengan napas memburu. Kin menghela dalam lantas mengusap wajahnya. "Sial, mimpi itu lagi. Ketakutan yang sama lagi." Kin memijit keningnya frustasi.

Laki-laki berambut sawo matang itu segera meraih handphone di nakas untuk melihat jam. Ia terkesiap sejenak lantas buru-buru turun dari ranjang. Mengambil pakaian dari lemari lantas menuju kamar mandi.

Tak lama Kin keluar, menyahut jaket di kursi yang berhadapan dengan meja kerjanya. Segera turun dari tangga dan keluar rumah.

Ini akan menjadi hari berbeda untuknya karena ia harus menjemput seorang gadis pemalas yang sekarang entah sedang apa.

Kin kini sudah sampai di depan rumah Shil yang ia tempuh dengan berjalan kaki karena jarak ke rumah mereka hanya sekitar 2 rumah 1 jalan dan 1 toko.

Laki-laki yang kini berbalut pakaian serba hitam itu mengusap-usap kedua tangannya, gugup bukan main. Padahal dia hanya akan menjemput seorang pembantu bukan calon ratu. Kin menghela sejenak beralih merapikan poni kepanjangan miliknya. Ia masih berdiri di depan gerbang. Ia hendak memanggil Ibu Shil kalau saja wanita itu tak menampakkan diri terlebih dahulu.

Sinta memandang kaget. "Kin, kenapa kamu ada di sini?" tanya Sinta sembari membuka gerbang.

Kin tersenyum kikuk. "Itu Tan. Kemarin aku lupa minta nomer hp Shil. Aku juga lupa memberitahu rumahku yang mana jadi aku menjemputnya biar Shil nggak salah rumah."

"Oh, iya-iya. Kemarin kamu buru-buru pergi." Sinta mengangguk. "Kalau gitu tolong bangunin Shil sekalian ya. Tadi udah coba dibangunin tapi susah banget. Aku lagi buru-buru soalnya. Kalau Shil nanti kerjanya malas-malasan bilang ya." Sinta menepuk pelan pundak Kin lantas melenggang begitu saja.

Kin handak saja protes tapi Sinta justru langsung pergi dengan tukang ojek yang sudah datang setelah mengunci gerbang. "Astaga, apa-apaan ini."

Namun apa boleh buat. Ia segera masuk ke dalam rumah. Menghela dalam karena ia juga tidak tahu di mana kamar gadis yang membuat paginya terasa berapi-api.

Kin mondar-mandir sebelum atensinya teralihkan dengan pintu putih dengan tempelan kertas pink membentuk huruf S. Yah, sekarang ia tahu di mana gadis itu bersemayam.

Akhirnya Kin berjalan mendekat dan mengetuk pintu itu. Namun tak ada sahutan apapun. Kin berdecak, "Cewek itu niat bekerja atau nggak, sih?" Tak sabaran Kin membuka pintu begitu saja. Ia sontak membeku kala mendapati gundukan besar yang terlihat begitu nyaman.

Kin mendekat perlahan. Ia menarik napas panjang lantas membungkuk. Menoel-noel pelan lengan gadis itu. Namun shil hanya menggeliat pelan.

Telinga Kin mendadak memanas. Kesal bukan main. Laki-laki itu mendadak mendapat ide super cemerlang.

Kin semakin membungkukkan badannya dan mendekatkan bibirnya di telinga gadis itu. Namun Kin justru tercekat mendapati wajah natural seorang shil.

Your ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang