6. Target

29 6 0
                                    

Shil mematut diri di depan cermin. Merapikan anak rambutnya yang melenceng dari jalur, rambut coklat bersiluet gelapnya tergerai rapi. Ia tampak anggun malam ini dengan dress hitam selutut, sabuk yang membelit pinggang rampingnya menambah kesan menarik.

Ia menghela sembari menyentuh pelan pantulan wajahnya sendiri. Shil menunduk lantas menatap langit-langit sebelum akhirnya keluar dari kamar.

Shil mengecek handphonenya yang mendadak bergetar. Ia tersenyum kecil kala satu balon pesan muncul di beranda. "Aku sudah di depan gerbang."

Shil tak membalas ia langsung saja menuju gerbang. Shil tersenyum kecil sembari membuka gerbang. "Mau maling, ya? Kok item semua dari atas sampai bawah," ledeknya kala mendapati Kin yang mengenakan kemeja, celana, dan sepatu dengan warna senada.

Kin tersenyum simpul. "Iya, mau maling hati kamu," sahutnya begitu saja.

Shil terkikik, "Gombalan basi tau nggak."

Kin hanya menarik segaris senyum. Ini terasa sama dengan kejadian tadi malam, di mana gadis itu mengeplak kepalanya setelah ia melontarkan pertanyaan luar biasa itu. Gadis itu jelas-jelas menolak tawarannya.

Shil mengerling. "Ayo masuk. Nanti digigit nyamuk kalau di luar terus."

Kin hanya bisa menarik senyum sembari melangkah. "Tante sama Om di mana?"

"Ada di taman belakang. Nyiapin meja dan makanan. Ayo ke sana."

"Kamu nggak bantu?"

"Hampir separuh pekerjaan aku yang ngelakuin, lho. Ibu sama Ayah malah banyak mesra-mesraan. Aku jadi kayak pembantu tanpa gaji hari ini," tukasnya sebal. Menyadari betul bagaimana kedua orangtuanya tengah saling merindu, jadi Shil mengalah saja.

Kin mengangguk setengah cekikikan, mengerti jika hari ini gadis itu benar-benar sibuk. Entah mengapa atensi Kin masih tersita oleh paras elok di sampingnya itu. "Malam ini kamu kelihatan lebih cantik. Kenapa nggak tiap hari aja pakai lipstik merah darah gitu?" Kin akui aura gadis itu bertambah berkali-kali lipat dari biasanya. Shil selalu tampil sederhana, pakai bedak tipis dan pewarna bibir yang terkesan soft.

"Emangnya kenapa?"

"Ya, biar tiap hari aku bisa cuci mata gitu," Kin terkekeh kala gadis itu memasang ekspresi datarnya. Ia lantas memandang foto-foto masa kecil Shil yang melekat di dinding saat mereka melewati ruang keluarga.

Shil mendadak jengkel. Entah ia harus tersipu atau merasa tertipu, tapi gadis itu mendadak memikirkan sesuatu. "Hewan-hewan kamu gimana?"

Kin refleks menoleh. "Mereka baik-baik aja kok. Biasanya tiap hari juga aku yang ngurus, jadi nggak usah khawatir. Yah, walaupun aku harus pulang saat para pekerja makan siang untuk memberi pakan mereka. Kamu perhatian banget sama mereka, udah sayang, ya?" ledek Kin.

Shil merona. Rasanya ia memang sudah terbiasa dengan kehadiran hewan-hewan itu, jadinya gadis itu merasa ada yang kurang tapi melihat Kin yang bolak-balik seperti itu ia juga merasa tidak enak.

"Mereka lucu, sih. Bikin aku gampang sayang."

"Kalau sayang sama aku kapan?"

Shil refleks menonyor kepala laki-laki itu. "Kumat, deh." Shil merotasikan irisnya.

Kin tertawa renyah. Melihat reaksi salah tingkah gadis itu benar-benar menyenangkan di matanya.

Kini mereka sudah berada di taman belakang. Kin terpukau sejenak. Banyak lampu kecil yang mengelilingi tanaman-tanaman di tepi halaman, kolam renang dengan air yang tampak menyala-nyala dan dua buah meja yang sudah tertata rapi dengan berbagai hidangan di atasnya.

Your ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang