5. Mendekat

22 5 0
                                    

Kini Shil mengedarkan atensinya ke seluruh bandara. Mencari sesosok pria terbaik dalam hidupnya. Shil mendengus, lantas membuka suara, "Ayah di mana? Aku udah cari-cari belum ketemu juga. Ayah bilang pakai kemeja hitam, kan? Di sini banyak yang pakaiannya begitu," ujarnya sebal. Ia merasa sedari tadi sang ayah sedang mempermainkannya. Shil tak pernah benar-benar diberi tahu di mana lokasi pastinya.

"Cari aja dulu Ayah udah deket, kok."

"Nggak mau, Yah. Shil udah capek. Kasian juga temen aku yang ikut ke sana kemari dari tadi."

Terdengar kekehan dari seberang sana, sebelum sahutan berikutnya, "Kamu pakai baju merah garis-garis hitam, kan?"

Shil refleks menoleh ke kiri dan kanan, "Iya, itu aku. Ayah ya ma ...," ucapan Shil refleks terhenti kala seorang pria tinggi berkemeja hitam melambai padanya sembari menampilkan segurat senyum.

Shil menelisik sejenak sebelum akhirnya menarik kurva sembari berlari lantas memeluk pria yang sangat ia rindukan itu. "Ayah, Shil kangen," ujarnya manja.

Sang ayah lantas membalas pelukan putri satu-satunya itu. "Ayah juga kangen, walaupun lebih kangen sama Ibu," ia lantas terkekeh kala Shil memukul pelan lengannya. "Bercanda, Sayang. Katanya kamu ke sini sama temen. Mana? Kenalin sama Ayah?"

Shil melepas pelukan itu. Menunjuk laki-laki berkaos abu-abu yang tengah berjalan mendekat.

Kin lantas menyunggingkan senyum sembari mengulurkan tangan. "Aku Kin, Om. Em ... calon pacar, Shil."

Shil melongo. Harap-harap bola matanya tak lepas dari tempatnya. "Kau Nauval Kindra Ramantha, Dasar Bos jahanam."

Ayah Shil terperangah. Ia menerima uluran tangan itu. "Om Panca Angkara. Kamu serius mau jadi calon pacar anakku?" tanyanya penuh selidik.

Shil sontak menyahut, kelabakan. Rasanya bak baru saja tercebur ke dalam kolam. "Dia bukan calon pacarku, Ayah. Kin itu Bos aku."

Panca menaikkan sebelah alisnya. "Yah, padahal Ayah udah seneng kamu mau dapet gandengan. Nggak bosen apa jomblo terus-terusan."

Shil menunduk sembari mencebik. Merasa benar-benar ternistakan.

"Sejak kapan kamu bekerja? Kenapa nggak bilang sama, Ayah?"

"Udah dari beberapa hari yang lalu. Ayah kan susah banget buat dihubungin."

Panca beralih menatap Kin. "Shil kerja sama kamu? Kerja apa?"

"Itu Om, ngurusin hewan-hewan peliharaanku sama bersih-bersih juga. Apa Om keberatan?" tanya Kin was-was.

Panca menggeleng. "Ohhhh, nggak sama sekali. Itung-itung buat Shil belajar nyari duit sendiri. Dari pada dia malas-malasan terus. Kayak nggak ada artinya dia hidup di dunia ini."

Shil menatap miris pada sang ayah. Benar-benar merasa dikucilkan. "Ayah tega banget sama anak sendiri," cicitnya tak terima.

Panca lagi-lagi terkekeh. "Kenyataan, Sayang."

Shil menyorot semakin kesal. Apalagi kala sang bos juga ikut terkekeh, menatapnya tanpa rasa iba. Benar-benar seperti iblis.

"Kin rumah kamu di mana?" tanya Panca masih penasaran.

"Dekat dengan rumah Om, kok. Dekat toko baju Mulia."

Shil menarik tangan sang ayah. Sudah kehilangan semangatnya hari ini. "Ayah, ayo pulang aja. Ngapain di sini lama-lama?"

"Tadi ke sini naik apa?"

"Pakai mobilku, Om," sahut Kin cepat.

"Ya udah, ayo ke parkiran," ajak Panca sembari menyeret koper biru tua ukuran besar miliknya.

Your ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang