2. Selamat Tinggal Ibu

72 43 118
                                    

Hai kamu, jangan lupa baca chapter sebelumnya ya. Supaya kamu ga bingung sama ceritanya. -writer

"....sudah melupakan kami berdua?" terlintas begitu saja di benakku. "Tapi, jika itu salah. Apakah waktu 10 tahun itu masih kurang untuk sekadar membeli sesuap nasi?" banyak sekali kenyataan yang masih sulit ku pahami.

Sayangnya, waktu terus berjalan. Sampailah kami di sebuah rumah sakit. Dimana jenazah ibuku dimandikan. Aku hanya bisa menunggu karena tak kuasa menahan kepedihan, sembari mempersiapkan diri untuk tegar menjawab semua pertanyaan yang kemungkinan adikku berikan.

"Jeglek." Pintu kamar mayat itu terbuka. Terlihat ada seorang suster yang keluar dari kamar tersebut.

Ia mendekat ke arahku, "Permisi, apakah anda keluarga dari ibu Hamidah?"

Aku langsung bangun dari tempatku duduk "Iya, benar. Saya anaknya." Ucapku sambil menyeka air mata.

"Jenazah ibu anda telah selesai di mandikan. Berikutnya, kami akan mengantar menggunakan ambulans ke rumah anda. Tapi sebelumnya, silahkan menuju ke tempat administrasi untuk menyelesaikan pembayaran. Baik, saya permisi." Jelas suster yang berada di depanku.

Ucapannya memang terdengar jelas, tapi hal tersebut mampu membuatku kebingungan. Tidak lain karena aku tidak membawa uang sepeser pun saat itu.

"Ba-ik, sus." Tanpa berlama-lama aku langsung menunju ke tempat administrasi.

Aku menyusuri jalan rumah sakit ini dengan tetap fokus pada setiap tulisan-tulisan petunjuk jalan di beberapa sisi. Maklum saja, baru pertama kali ini aku pergi ke rumah sakit. Karena biasanya jika sakit aku hanya akan pergi ke puskesmas.

Sampailah aku, di tempat administrasi. Letaknya ada di dekat pintu masuk dan keluar rumah sakit.

"Permisi, saya ingin tahu berapa biaya rumah sakit ibu saya?" Dengan menyembunyikan jari yang ku mainkan, tanda harap-harap cemas dari tubuhku.

"Dengan ibu siapa?" Suster itu membuatku semakin tegang karena memberiku pertanyaan. Meskipun itu bukan soal matematika, tapi ketegangannya justru lebih parah. Hingga, mampu membuat jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.

"Ibu Hamidah, sus...." Balasku, yang mengisyaratkan masih ada kelanjutannya.

"Ta-ta-pi suster bisakah pembayarannya dilakukan setelah ibu saya di bawa pulang? saat ini saya benar-benar tidak membawa uang." Dengan menyatukan kedua telapak tangan, aku berusaha meyakinkan suster itu.

Dalam hati. "Atau pakai kartu pelajar ya? Hmm, benar juga."

"Bagaimana dengan kartu pelajar?Apakah bisa di jadikan sebagai jaminan, sus? Sahutku kembali.

Dengan senyum ramah suster itu menggenggam tanganku. "Sudah-sudah, kamu tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Karena, orang yang menabrak ibumu mau bertanggung jawab dan sudah membayarkan semua biaya rumah sakit."

"Apakah benar begitu?!" aku masih penasaran.

"Benar dek, saya yang bertanggung jawab." Terdengar suara dengan tone bass yang biasanya dimiliki oleh laki-laki.

"Puji syukur Alhamdulillah." Sontak aku langsung melakukan sujud syukur. "Subhaanallohi walhamdulillaahi walaa ilaaha illalloohu walloohuakbar, walaa haula walaa quwwata illaa billaahil 'aliyyil 'azhiim."

Bapak tadi mencoba membantu ku bangun dari sujud. "Bapak yang seharusnya bersyukur karena kamu tidak berniat menutut saya, ataupun melaporkan saya atas kejadian tadi." Cara bapak tersebut bicara terdengar jelas merasa bersalah.

"Ini semua adalah sebuah kecelakaan pak, dan takdir Allah Swt. InsyaAllah saya sudah ikhlas menerimanya. Terima kasih banyak pak." Balasku mencoba sedikit tegar.

'Tak Terucap'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang