Setiap kali kau membuka jendela, maka kau akan melihat hal yang berbeda.
Oneshoot with Bangchan as center.
Mature content.
21+ or 18+
Beberapa Chap pernah di publis di Bangchan NC Oneshoot (sudah di hapus) dan diperbaiki untuk versi yang lebih rapi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dengan perubahan secukupnya :3 dan aku harap kamu senang, maaf jika kurang memuaskan atau sedikit melenceng dari keinginan kamu.
. . .
Happy Reading.
Chan meringkuk di lantai sudut kamar mandi sekolah, memegangi perutnya sembari meringis kesakitan, wajah berkerut menahan perih dari memar dan lecet baru di tubuhnya, dia memejamkan mata begitu rambutnya kembali di tarik hingga dia mendonggak "Lihat aku!" Orang itu melepaskan rambut Chan secara kasar, dia dan teman-temannya tertawa melihat pemuda yang bahkan tidak bisa mengangkat kepalanya tanpa gemetar "Apa? apa mau mu? Bambam." Bambam tidak menjawab, hanya menggedikkan bahu "Bersenang-senang, kamu mainan yang menyenangkan kamu tau? Lemah, dan membiarkan kami memukuli mu sesuka hati seperti boneka." Dia menjawab tak acuh.
Chan tidak ingin mengakuinya, tapi itu benar. Dia tidak punya keberanian sebesar itu untuk melawan bambam dan geng nya, dia tidak punya keberanian untuk sekedar mengangkat wajahnya saat berjalan dan mencoba melawan atau setidaknya berteriak pada orang-orang yang selalu membulinya selama 2 tahun itu, bahkan di keadaannya sekarang yang sudah babak belur Chan tetap tidak memiliki keberanian.
Terlalu takut untuk membela dirinya sendiri "Kalau begitu... " Dia menelan ludah, rasanya sangat menyakitkan "Apakah kamu sudah selesai?" Dia bertanya dengan gemetar.
Tau bahwa cepat atau lambat Bambam akan bosan mengganggunya, ini sudah berjalan hampir 2 tahun masa sekolah, dan Chan berpikir dia bisa bertahan lebih lama. Reaksi Bambam yang memutar mata bosan lalu menoyor kepalanya sembari pergi menjauh bersama dua orang temannya membuat Chan tersenyum dalam hati, pintu tertutup membuat dia benar-benar sendirian.
Dan kesakitan.
Dia seharusnya terbiasa, tapi sesering apapun ini terjadi luka tetaplah luka yang menyakitkan. Chan masih bersyukur karena dia tinggal sendiri sehingga tidak akan ada keluarga yang menanyainya apapun tentang ini. Dia berusaha berdiri, tangan melingkar memeluk perut hingga pinggang nya sendiri, menyakini bagian itu akan berhiaskan memar parah untuk beberapa hari. Dia berusaha menahan ringisannya saat melangkah perlahan, setiap langkah rasanya begitu berat kakinya gemetar lemas karena belum mendapat asupan apapun sejak pagi tadi, jam istirahat bukanlah pilihan untuknya karena itu adalah waktu dimana dia akan di pukuli demi kesenangan orang lain. Chan menghela nafas, ya. Tidak ada gunanya untuk melawan, dia tetap akan kalah.
Suasana sekolah sangat hening ketika dia keluar dari kamar mandi, lalu saat dalam perjalanan pulang hujan turun begitu lebat hingga dia basah kuyup dan kedinginan, berpikir haruskah meneduh atau menerobos hujan sebelum Chan sadar dirinya hanya tinggal beberapa blok lagi dari kontrakan kecilnya. Hidup sendiri di negara asing memang sulit, tapi dia belajar beberapa hal dan beradaptasi dengan cepat, itu kelebihan nya yang lain selain berlari. Sejak kecil Chan sangat suka berlarian, menyusuri padang peternakan, menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya, membuat poninya naik ke atas, hobi itu sangat berguna, dia menjadi andalan dalam tim sepak bola, dan memenangkan beberapa perlombaan lari kanak-kanak, begitu banyak apresiasi yang membuatnya sangat mencintai hobi berlarinya, dan itu bertahan, juga berkembang bersama dengan dirinya yang semakin dewasa.