Lula Sayang Primus

7 4 0
                                    

VOTE DAN KOMENTARNYA YA GRATIS KOK

****

Lula mengulurkan kaki seraya memasang sendal dengan buru-buru. Yang ada di pikirannya saat ini adalah wajah lebam Primus. Perempuan itu dengan langkah cepat melewati ruas jalan untuk menuju ke mulut kompleks.

Lula menoleh ke segala arah. Mencari kerumunan. Sedetik setelah menemukan segerombolan orang yang terlibat dalam kegaduhan, dia secepatnya langsung berlari lagi. Melintasi beberapa penjual makanan di pinggir jalan lalu menyeberang.

Belum saja mencapai seberang jalan, Lula memekik. Sangat jelas perempuan itu melihat seseorang baru saja meluncurkan pukulan keras ke wajah Primus sehingga bibir cowok itu langsung diberkasi darah.

Napas Lula memburu, dengan degupan jantung yang tak keruan, dia bergegas berlari lagi setelah beberapa pengendara sepeda motor melintas di depannya. Perempuan itu tampak bergerak ke depan sekuat yang dia bisa. Raut penuh kecemasan tampak berkelebat di wajahnya.

Lula pun kini sudah berada di ujung kerumunan. Tangannya berupaya mendorong orang-orang di depannya agar dirinya bisa mencapai pusat perkelahian. Kemudian, sekali lagi terdengar perempuan tersebut berteriak nyaring saat melihat Primus membalas lawannya—sehingga seseorang yang sial terkena tinjuan itu tersungkur ke jalan.

Primus mencengkram kerah baju lawannya dan meninju rusuk cowok bertindik itu dengan keras. Primus memukul-mukul seolah dia tidak bisa dihentikan. Lawannya mengerang sambil berusaha membebaskan diri.

Sebelum sempat melepaskan diri, Primus memukul punggung  musuhnya itu seolah dia ingin merusak balok kayu. Tak sampai di situ, Primus melayangkan tendangan secepat kilat di perut lawannya. Semua orang memekik melihat aksi perkelahian itu.

Dengan lekas Lula langsung mendekap Primus yang sudah ada di hadapannya. Tangannya memeluk erat tubuh cowok itu. Lula sangat tahu kalau amarah Primus masih menggebu-gebu. Debaran keras jantung Primus pun dapat dirasakannya. Tetapi Lula tidak akan melepaskan pelukannya sebelum Primus benar-benar tenang.

Air mata Lula sendiri mengalir dan tidak ada yang bisa meredupkan emosi Primus kecuali air mata perempuan yang sedang mendekapnya itu. Dengan wajah kemerahan penuh emosi, Primus mendengus. "Kita pulang," ketusnya pada Lula.

Primus sebenarnya ingin meneruskan aksinya, tetapi itu tidak akan mungkin apabila ada Lula di dekatnya. Sementara itu keriuhan serta sorakan masih terus menggema, namun Primus mengabaikannya. Dia tetap membawa Lula bersamanya untuk pulang.

Di sela langkahnya, cowok itu melewati musuhnya, memperingatkan seseorang yang masih tersungkur di jalan itu dengan acungan telunjuk. "Kita belum selesai,"

Lula lantas mendongak menatap mata Primus yang berapi-api. Memohon agar Primus mengakhiri pertengkaran tersebut.

Tanpa kata lagi, Primus kembali berjalan menggandeng Lula dalam pelukan. Sewaktu sudah berada di ruas jalan dalam kompleks, Primus mengertakkan rahang. "Bisa gak sih lo nangisnya kalau gue sudah selesai berantem aja?"

"Terus kenapa lo harus nangis? Yang ditangisin cowok berandalan kayak gue lagi. Aneh lo!"

Lula menyentak. "Lo bilang gue aneh?"

"Lo kira gak capek punya sahabat tukang berantem kayak lo? Lo kira gak capek sering cemas mikirin lo? Lo kira gak capek nangisin lo? Kalau menurut lo sikap gue itu aneh, silakan, lanjutin berantem sampai puas!"

Beberapa saat Lula tampak masih menatap tajam ke wajah Primus yang sebenarnya dibekasi luka sana-sini. Tetapi akhirnya perempuan itu memutuskan untuk memutar tubuh. Lula secepat mungkin berlari meninggalkan Primus.

Namun seiring melangkah, adrenalin kekesalan dalam diri Lula semakin memudar. Tangannya sudah menyentuh pagar rumahnya, tetapi dia memutuskan bergeming di sana. Lula berniat untuk menunggu Primus. Amarahnya sekali lagi padam karena ada suatu perasaan kuat yang dirasakannya terhadap Primus.

Kalau dia bisa berpaling dari cowok itu, sudah sejak lama Lula melakukannya. Tetapi dia tidak bisa. Tidak akan pernah bisa. Mereka berdua sudah tumbuh bersama-sama. Hubungan itu tidak akan pernah melonggar bahkan setiap harinya semakin kuat yang dirasakan oleh Lula.

Di bawah cahaya bulan yang memenuhi jalan, tiba-tiba Primus muncul sambil mencoba menyimpulkan senyum di bibirnya yang dibubuhi bekas darah. Primus mengangkat tangan seraya mengelus rambut perempuan di hadapannya. "Sejak kapan lo bisa lari dari hidup gue? Dan sejak kapan gue bisa pergi ninggalin lo?"

Primus mendekatkan diri seraya menarik tangannya kembali dari puncak kepala Lula. Lantas tangan itu sekarang mencoba menghapus air mata yang bergulir di pipi sahabatnya. Jemarinya mengusap lembut pipi Lula. "Sudah jangan nangis. Maafin gue. Jadi... sekarang ayo bantuin gue ngobatin luka ini."

Kekehan Lula kontak terlepas begitu saja di sela isakannya. Dia menyurukkan jari, mencubit perut Primus dengan gemas. "Untung lo ganteng, Prim!"

"Kalau nggak?" Primus menaikkan satu alisnya.

"Sudah gue tinggalin dari dulu." Canda Lula.

Primus tertawa, merangkul bahu Lula. "Walau muka gue sudah luka-luka begini masih aja ganteng di mata lo. Masih bikin lo betah untuk deket sama gue."

"Apaan sih lo. Geli ah." Lula bergidik dalam rangkulan Primus.

Mereka berdua pun tertawa dan masuk beriringan ke dalam rumah Primus. Primus yang merangkul sahabatnya saat itu tidak akan pernah tahu betapa berdebarnya hati Lula. Jika ada kata lain untuk menunjukkan sesuatu yang melebihi sahabat, maka itulah yang dirasakan Lula.

Berbagi suka, duka, cerita, rahasia, dan bahkan tanpa disadari, Lula telah membagi cinta secara diam-diam pada Primus.

****

Vote dan komentar dapat membantu saya semangat untuk update cerita ini setiap hari. Terima kasih

Surat Dari PrimusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang