Lula Belum Siap

3 4 0
                                    

Sambil menunggu guru Bahasa Inggris datang ke kelas, beberapa murid terlihat tengah menyibukkan diri dengan membuka buku pelajaran. Ada juga yang masih tertangkap saling mengobrol dengan teman sebangkunya. Termasuk Lula dan Siska.

"Si Beby itu bisa jadi saingan lo, La!" bisiknya tegas.

Lula yang sedang membolak-balik halaman buku, mengernyit. "Saingan apaan?"

"Buat dapatin Primus lah." tukas Siska langsung.

Kontan Lula memasang wajah masam. "Gue sama Primus itu cuma sahabat, Sis. Gak ada cinta-cintaan."

Siska mendekatkan wajahnya ke Lula. "Gue serius! Emang lo siap kalau dengar Primus manggil sayang ke cewek lain?"

Lula tampak pura-pura tak acuh sedangkan hatinya sebenarnya merasa gelisah. "Dia kemarin manggil Bulek kantin dengan sebutan sayang kok. "

Siska menjelingkan mata. "Please Lula. Lo pasti ngerti maksud gue, kan? Gue tanya sekali lagi, lo siap kehilangan Primus?"

"Denger dia berantem aja, lo kelabakan. Takut dia kenapa-kenapa."

Lula mendengus. Saat ini seperti ada sesuatu yang menohok hatinya. "Wajarlah, Sis. Mana mungkin gue gak peduli sama Primus. Dia kan sahabat gue dari kecil."

"Lagi pula, baguslah kalau ada cewek yang mau deket sama dia. Berarti ada juga orang yang ngeliat sisi lain Primus."

Suara Lula bergetar ketika melanjutkan ucapannya. "Biar si Primus juga sadar kalau dia berpeluang untuk disukai banyak orang. Jadi dia gak berandalan terus. Ada niat buat ngubah kelakukan dia."

"Kalau sama gue mah, mana mau dia berubah. Yang ada dilawan terus. Kali aja kalau cewek lain yang negur, baru dia mau nurut." kata Lula hanya ingin mencari-cari alasan untuk menutupi kesedihannya saat ini.

Menengok air muka Lula yang tiba-tiba berubah muram, Siksa bertanya. "Kok lo kelihatannya jadi sedih sih, La? Tuh kan, lo takut kehilangan Primus pasti. Gue tahu lo suka sama dia."

Cepat-cepat Lula menyergah. "Nggak. Gue terharu doang. Ternyata ada juga yang suka sama Primus."

Siska lantas bergumam. "Kira-kira si Primus bakal suka juga gak ya sama Beby?"

Lula yang tiba-tiba pandangannya mengabur melihat tulisan di buku sebab mendadak air matanya menggenang, bertanya ulang dengan lirih. "Suka gimana maksud lo?"

Siska berdecak. "Iya, suka. Mereka bakal jalan bareng, makan bareng, curhat bareng, ketawa-ketawa bareng. Tinggal nunggu waktu aja mereka pacaran."

Membayangkan perkataan Siska barusan, setetes air mata Lula tanpa diundang menetes ke halaman buku sehingga Siksa menegur. "Lula, buku lo basah. Udah gak usah malu. Lo gak bisa bohong sama gue tentang perasaan lo itu."

Lula bergegas mengangkat tangan dan mengusap setetes air matanya lagi yang turun ke pipi. "Sok tahu lo ah. Gue bilang, gue cuma terharu doang kok." ucapnya berbohong.

****

Bel pulang sekolah pun sudah berbunyi belasan menit lalu dan sekarang Lula sedang menunggu Primus di halaman parkir. Selang beberapa lama, akhirnya dia melihat Primus berjalan sambil mendorong-dorong dan menantang murid cowok yang tidak sengaja menabraknya.

Ketika Primus menghampirinya, Lula langsung saja memprotes. "Jangan dibiasain gangguin orang gitu ah, Prim. Kasihan tahu."

Primus tersenyum saja. "Siapa suruh dia nyenggol bahu gue duluan, minta tampol kali."

Serta-merta Lula menyentakkan kaki karena merasa sebal. "Prim, lo bisa dibilangin gak sih? Gak usah emosian. Dikit-dikit lo berantem. Capek tahu gue ngasih tahunya!"

Primus berkacak pinggang. "Lah, kenapa jadi marah-marah begini? Lo kan sudah biasa sama tingkah gue?"

Terdenger Primus menggumam sebelum akhirnya berbicara lagi. Mencoba menebak alasan mengapa Lula mendadak marah padanya. "Lo kelamaan nunggunya ya? Maaf deh."

Lula mengembuskan napas kesal. Entah kenapa di dalam dirinya terasa gerah. "Ya sudah. Pulang sekarang aja. Panas nih."

"Oke, oke." balas Primus mengangguk lalu menyalakan mesin motor.

Di tengah perjalanan, Lula masih terus terpikirkan ungkapan hati Beby. Perempuan itu merasa penasaran, lantas tangannya membuka kaca helm lalu bertanya pada Primus. "Prim, soal yang Beby, Beby, itu... bener?"

"Beby?" Primus menyernyit sambil terus fokus pada jalan di depan.

"Maksud lo apaan? Gue gak suka kalau lo ajak tebak-tebakan gitu. Langsung pada intinya aja." sambung Primus karena tak mengerti arah pembicaraan Lula.

"Si Beby anak dua belas IPA 5 nembak lo, kan?" tanya Lula hati-hati.

Primus baru ngeh dan mengangkat bahu. "Oh... itu. Ada juga gitu ya cewek yang mau sama gue? Gue kira cuma lo yang mau deket sama gue." jawab Primus sekadarnya.

Melihat ada seberkas senyum di bibir Primus saat Lula melirik ke spion, perempuan itu merasa hatinya bergejolak tak keruan. "Iya, terus Prim?"

"Lah kita ini kan mau belok. Lo mau ke mana nyuruh gue terus?"

Lula mendesah. Primus selalu saja susah untuk diajak bicara serius. "Maksud gue lo terima dia gak?"

"Mungkin nanti gue terima," Saat Primus mengucapkan itu, pegangan tangan Lula di pinggang Primus gemetar. "Itung-itung biar gue gak ngerepotin lo lagi, kan." jawab Primus apa adanya.

Primus tiba-tiba dilema mengapa Lula bertanya seperti itu. Apakah Lula tak pernah sadar kalau selama ini sebenarnya dia hanya menaruh hati padanya? Apakah Lula tak pernah menilik jauh pada tatapan matanya selama ini? Ada cinta di sana untuk dirinya.

Sementara itu Lula yang duduk di belakang terdiam begitu saja. Dadanya terasa sesak mendengar jawaban Primus. Perempuan itu memalingkan wajah dan memeluk Primus dengan erat. Lula belum siap jika Primus akan menerima Beby.

Lula bertanya-tanya dalam hati. Apakah ada yang kurang dari dirinya hingga Primus mencoba membuka hati untuk perempuan lain? Apa dirinya tak pantas untuk mendampingi Primus lagi? Satu tetes air mata bergulir di pelipis Lula, segera perempuan berambut panjang itu menutup kaca helm. Menyembunyikan jejak kesedihan di wajahnya.

*****

Rajin-rajin vote dan komentar ya. Hehe

Surat Dari PrimusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang