SATU: KECEWA (2)

11 3 0
                                    

Jam menunjukkan pukul tiga sore. Itu tandanya sekolah sudah selesai.

Aku, Faeza, dan Zehan berjalan ke tempat parkir sekolah untuk mengambil sepeda. Setelahnya, kita bertiga bersepeda keluar dari gerbang untuk menuju kosan. Rencananya, kedua anak monyet ini mau nginap di kosanku. Saat kita hendak menyebrang. Seorang gadis sedang berdiri tak jauh dari kita.

"Itu Nadine. Samperin kuy!" ajak Zehan yang sudah mulai melajukan sepedanya ke arah Nadine. 

Kutarik tas yang tersampir di punggung Zehan dengan cepat untuk menghentikan pergerakannya.

"Ngga usah. Diem disini lu."

"Lah, kenapa?" tanya Faeza yang sedikit meninggikan suaranya. "Lo masih marah sama si Nadine cuma gara-gara omongan tadi? Lebay lo," lanjutnya sambil mendengus kesal.

"Bentar, deh. Liat," tunjukku pada Nadine.

Kini di depan Nadine terparkir mobil mewah. Di dalamnya terlihat seorang wanita setengah baya tersenyum ke arah Nadine. Ia terlihat seperti sedang merayu. 

Kulihat ekspresi Nadine. Ia mengerutkan keningnya dan seperti sedang membentak. Kulihat mukanya memerah seperti kepiting rebus. Seperti sedang marah juga. 

 Apa kuhampiri saja?

"Guys, gua kesana. Lo berdua, diem sini," ucapku pada dua manusia monyet itu. Mereka menganggukkan kepala tanda mengerti. Kulajukan sepedaku untuk mendekat ke arah Nadine di seberang jalan.

"Hei tante!" sapaku pada wanita paruh baya di depan Nadine. "Apa kabar?" lanjutku.

Wanita itu menoleh, kemudian tersenyum dengan lembut menampilkan sedikit kerutan di matanya. Ia sudah nampak tua. Terlihat juga kantung mata yang menghitam menandakan kalau ia sedang lelah dan mengantuk. 

Mungkin pekerjaan kantor dan mengurus Nadine adalah dua kegiatan yang menguras tenaga dan pikirannya.

"Hai Nagea!" sapanya antusias. "Tante baik. Sangat baik! Kamu gimana?"

Ia nampak ceria dengan wajah lelahnya. Hebat. Wanita ini masih bisa tersenyum dengan ramah dengan badan rapuh itu. Ia nampak sangat kurus. Apa dia tidak sempat merawat dirinya sendiri karena sibuk dengan urusannya? 

Entahlah.

"Saya baik tante. Oh, iya. Ini ada apa ya? Saya lihat tadi, sepertinya ada yang sedang marah-marah di sini," sindirku sambil melirik kearah Nadine. Kutatap matanya. Ia memasang muka kesal.

"Oh, ngga. Ini Nadine cuma susah aja diajak pulang. Biasalah, anak remaja. Mau nongkrong dulu katanya. Tapi tante minta Nadine pulang sekarang, soalnya badan tante sudah capek banget, hehe. Pingin langsung istirahat aja di rumah," jelasnya panjang.

Kupalingkan wajahku ke arah Nadine. Kukerutkan dahiku dan menghela napas pelan. "Bisa ngga, nurut aja gitu sekali-kali? Lo lupa pesan terakhir mama di rumah sakit dulu. Mama minta lo buat nurut sama Tante Teresa. Kalau ngga nurut, artinya lo udah ngelanggar pesan terakhir mama," ujarku pelan.

"Ck! Haduh! Apasih kamu itu kak! Nggak usah bicara lagi sama aku. Aku masih marah gegara tadi di kantin." Nadine menunjuk-nunjukku dengan jari telunjuk kanannya. Ia menunjuk-nunjuk mukaku, yang jelas-jelas adalah kakaknya dan lebih tua darinya. 

Tanpa sadar kepalaku menggeleng. Sudah ngga beres anak ini. Sikap ngga sopannya makin menjadi.

Kucekal tangan kanannya dan berkata "Berani kamu nunjuk kakak?!!" bentakku dengan suara beratku membuat orang di sekitar ikut melirikku. Aku sudah geram dengan orang ini. Sudah berapa lama dia bersikap kurang ajar seperti ini?

"Masuk!!" bentakku lagi dengan tatapan nyalang. Dia hanya diam dan tetap tak menghiraukanku. "NADINE MASUK!!!" bentakku lebih keras. Ia terkejut, seketika menghembuskan napas kasar. Dengan lambat ia masuk ke dalam mobil putih mewah itu.

"Nak Nagea." Tante memanggilku dengan nada lembut khasnya. Mengingatkanku kembali dengan mama. 

Amarahku kembali menurun. Hatiku nampak melunak melihat Tante Teresa. 

"Sudah, Nagea. Tak perlu membentak Nadine. Mungkin karena ia beranjak dewasa jadi dia sudah jarang mendengar perkataan orang. Semua remaja begitu. Mereka mengikuti kata hatinya." Tante tersenyum ke arahku. 

Sudah berapa kali tante menahan sikap Nadine? Baru bertemu beberapa kali dengan Nadine saja sudah membuatku emosi.

"Kalau dibiarin nanti ngelunjak, te."

"Sudah, sudah. Yang sabar ya. Nanti di rumah tante akan menasehatinya. Maafkan tante, mungkin karena tante juga yang akhir-akhir ini kurang perhatian ke Nadine, jadi dia sikapnya berubah begini. Di kantor makin sibuk," ucapnya sambil diakhiri dengan tertawa ringan.

"Ngga, ini bukan salah tante kok. Ini juga salah saya soalnya saya juga jarang ketemu sama Nadine. Mungkin dia memang butuh perhatian dari orang-orang terdekatnya."

@@@

HAI HAI HAIII!!

Ini Bellissimo! Gimana-gimana bagian keduanya? Masih belum greget ya? Masih ngambang ceritanya kann. Yuk baca lagi bagian selanjutnya!

Oh iya, jangan lupa vote dan komen di bagian ini ya! Aku sangatt berterimakasih kepada kalian yang melakukannya untukku!

Kalian juga bisa kasih kritik dan saran yang membangun!

Note: tetap menggunakan bahasa yang sopan dan tidak menyinggung pihak manapun

Okee, sampai jumpa di bagian selanjutnya!

LOVE FROM BELLISSIMO

8 PMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang