DUA: TEMAN (2)

9 3 0
                                    

Pagi hari kembali tiba. Waktu berjalan sangat cepat. Hari ini adalah hari di mana lomba akan dilaksanakan. Aku datang pukul enam untuk bisa melihat posisi saat lomba nanti. 

Lomba pidato kali ini adalah lomba tingkat nasional. Lombanya diselenggarakan di sekolahku. Syukurlah, aku tak perlu jauh-jauh untuk mengikutinya. Aku mengajak Faeza dan Zehan untuk membantuku mengecek keadaan ruangan lomba. Rencananya, akan diadakan di aula.

"Pagi, Nak Nagea, Fae, Zehan. Tumben kalian datang sepagi ini. Matahari juga masih muncul sedikit," sapa pak guru saat kami berjalan di koridor.

"Hehe, iya pak. Saya ke sekolah pagi-pagi untuk mempersiapkan tempat lomba saya di aula nanti. Apa sudah sesuai, agar saya lebih nyaman saat lomba dilaksanakan."

"Oooh, begitu. Bagus, Nagea. Kamu harus mempelajari medan sebelum mulai pertempuran, supaya bisa menang. Hehe," jawab pak guru itu. Ia tertawa kecil sambil memperlihatkan giginya yang tertanggal lima di dalam situ. 

Sudah tua sekali.

"Ya, tapi gausah ngajak saya juga ngga papa 'kan pak. Si Nagea ini mengganggu tidur saya saja pak! Yang lomba dia, yang stress saya ini pak!!" timpal Zehan sembari merapikan rambut acak-acakan khasnya.

"Nak Zehan. Apa yang dilakukan nak Nagea itu benar. Kamu juga harus bisa termotivasi dan bisa menyontoh apa yang dilakukan Nagea. Dia sangat berprestasi, sama seperti Faeza juga. Masa kamu ngga mau seperti mereka. Ya sudah, bapak pergi ke ruang guru ya. Ingat Zehan, tingkatkan juga nilainya ya. Biar bisa masuk universitas yang kamu impikan itu." Pak guru itu pun berjalan menjauh setelah berbicara panjang lebar.

"Haha, ingat itu nak Zehan. Ahaha!" ujar Faeza meledek Zehan. Zehan masih senantiasa cemberut seperti monyet. Dia memang benar-benar cocok menjadi monyet di kebun binatang.

"Kalian ngerasa ngga sih kalo kita famous?" celetuk Zehan tiba-tiba. Ia terus saja membenarkan letak rambunya yang acak-acakan. "Iya 'kan, Nagea famous karena keaktifannya ngikutin lomba, Fae famous karena dia ranking satu berturut-turut," lanjutnya

"Kalo elu?" tanyaku cepat sambil berjalan.

"Zehan famous karena sering masuk ruang bk! Ahaha!" tunjuk Faeza yang kemudian dipukul lagi oleh Zehan.

Ya Allah, punya temen gini amat. Kaga ada yang kalem dikit yak?

Sesampainya di kelas, kita meletakkan tas di meja masing-masing dan kemudian keluar kembali menuju aula untuk melihat penataan ruang.

Di depan aula,

"Lah? Pintunya masih dikunci, ngab!!" ujar Zehan sambil menggerak-gerakkan gagang pintunya.

"Pinjem kunci, Ge," ucap Faeza padaku. .

"Oke, tunggu sini. Gua ke ruang guru." Keduanya mengacungkan jempol dan aku mulai melangkahkan kaki ke ruang guru.

Sesampainya di sana, aku masuk dan mulai meminta kuncinya. Ketika guru yang kumintai kunci sedang mencarikan kunci, samar-samar aku mendengar suara orang yang kukenal. Sangat tidak asing. Ngobrol sama siapa juga?

Perlahan, aku mendekati suara itu. Aku berjalan sepelan mungkin diantara banyak lemari yang berjajar rapi di sana. Aku takut dimarahi guru-guru kalau melihatku mengendap-endap seperti pengintai. Ketika aku sudah merasa dekat dengan suara itu, kutengokkan kepalaku ke salah satu meja guru di sana.

"Tante Teresa?" Apa yang dilakukannya di sini?

Wanita yang kupanggil itu menoleh kearahku dengan tatapan terkejut. Lalu ekspresinya cepat berubah dengan senyuman lembut miliknya. 

"Ooh, Nagea. Udah sampe di sekolah pagi-pagi gini?" tanya tante sambil tersenyum.

"Iya, Tante Teresa. Mmm... tante kok di ruang guru?" tanyaku. Setahuku, guru yang sekarang ini berada di hadapanku ini, bukan wali kelasnya Nadine.

8 PMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang