Satu

31 4 0
                                    

Aku menatap pantulan diri di cermin. Blouse putih sengaja aku masukan agar terlihat rapi, diselimuti blazer berwarna sofhmocca yang bagian tangannya aku lipat menjadi dua lipatan. Pashmina berwarna putih yang diikat ke belakang, senada dengan celana. Tas warna hitam dengan ukuran sedang yang aku tenteng. Tidak lupa dengan heels berwarna putih. Aku juga menambahkan aksesoris berupa kalung berwarna gold dan jam tangan kecil silver yang melingkar di tangan kiri. Tampak sempurna dan elegan.

Aku menghela napas dalam. Berusaha melupakan obrolan semalam dengan Mama. Kalau ditanya kapan nikah, kalian akan menjawab apa? Besok? Lusa? Atau, tahun depan?

Sebelumnya, aku mau cerita dulu di mana posisiku yang sekarang.

Pagi ini, sekitar pukul tujuh aku sedang berada di kamar. Aku sudah bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Saat ini aku masih berdiri di depan cermin full body. Kalian mungkin berpikir bahwa aku menjawab pertanyaan Mama, tetapi malam itu aku diam. Deg! Aku bingung harus menjawab apa?

Dering ponselku membuyarkan lamunan. Ada notif yang masuk ke whatsapp. Oh, rupanya Meta. Aku kira dia. Meta mengirimkan voice note. Lantas, aku mendengarkannya.

"Fhi, kamu di mana? Masih di rumah? Jangan telat lagi!"

Aku mendesah. Membalas dengan voice note lagi? Tidak. Itu bukan aku. Lebih baik aku mengirimkan pesan saja kepada Meta.

"Aku masih di rumah, Ta! Sebentar lagi berangkat, kok!"

Iya. Seperti itulah pesan singkatnya.

Meta Kentari, sahabatku dari SMA sampai sekarang. Semoga langgeng terus, ya. Aamiin. Usianya sama sepertiku, 26 tahun. Tapi, Meta sudah bertunangan. Berbeda denganku. Aish. Bukan itu yang mau aku ceritakan di sini, tetapi sebelum ke sana, lebih baik aku langsung turun ke bawah. Takutnya, benar-benar terlambat berangkat ke kantor.

"Fhi. Mama denger temen seangkatan kamu waktu SMA, besok mau nikah, loh!"

Aku yang baru saja turun dari tangga mendadak berhenti. Mama mungkin mendengar suara sepatu yang beradu dengan lantai. Wanita berkerudung itu masih sibuk mempersiapkan sarapan untukku. Mengolesi roti dengan selai. Aku berjalan menghampiri Mama dan menaruh tas di atas meja makan saat sudah duduk di kursi.

"Kalo gak salah namanya Arsi, Fhi!" Mama kembali berucap.

"Arsi?" Aku menatap Mama bingung, mengingat-ingat siapa Arsi yang disebut. Nama Arsi di kelasku dulu memang ada dua, yang memakai nama itu wanita dan pria. Bukan hal yang aneh, kan? Kadang, terlalu rumit memikirkan nama sampai nama pria pun dipakai untuk nama wanita. Ah, tidak seharusnya aku memikirkan itu. Lupakan! Bukan itu yang mau aku ceritakan.

Mama mengangguk dan menaruh sepotong roti dengan selai cokelat di atas piring untukku. "Iya, Fhi. Arsi!" Kemudian Mama duduk.

Aku meneguk susu cokelat dan mengambil roti tersebut. Mengunyahnya perlahan. Roti dengan selai cokelat memang kesukaanku. Semua jenis cokelat aku suka. Tapi anehnya, ukuran baju tetap saja sama dan berat badanku tidak bertambah. Katanya, cokelat bisa bikin gemuk. Iya, kan?

"Kemarin Mama dapet undangannya, tapi lupa bilang ke kamu."

Senyum manis yang penuh dengan ketulusan tidak pernah hilang dari wajah Mama yang bersinar bak rembulan. Rahmi Widia, itu adalah nama Mama. Wanita yang begitu kuat dan tegar. Jangan tanya di mana yang lainnya karena di rumah ini hanya ada aku dan Mama. Papa sudah lama berpulang, sejak aku sekolah menengah pertama. Papa meninggal karena komplikasi. Kesedihan menyelimuti kami selama beberapa tahun, tapi aku yakin bahwa apa yang lahir oleh-Nya akan kembali kepada-Nya. Kadang, aku kasihan melihat Mama yang sendirian di rumah selama aku bekerja.

"Kamu kapan nikah, Fhi?" Pertanyaan dari Mama membuatku tersadar.

Aku terkesiap dan juga hampir tersedak, tapi untung saja itu tidak terjadi karena aku langsung menelannya. Potongan roti yang besar sampai membuat tenggorokanku sakit.

Ma. Apa stok pertanyaan Mama cuma itu aja? Ditanya kapan nikah, lagi? Apa reaksi kalian? Marah besar? Mengamuk sampai mencakar-cakar? Atau, pura-pura hilang ingatan? Oke. Mungkin yang terakhir terlalu lebay.

"Ya ampun, Fhi!" Mama memberikan air putih dan aku meminumnya sampai habis.

Setelah rasa sakit di tenggorokan hilang. Aku berkata, "Ya alhamdulillah dong, Ma!"

"Terus kamu kapan nikah, Fhi?" Mama menatapku tajam. "Mama gak pernah larang kamu buat bawa pacar, loh! Apalagi sekarang kamu udah kerja. Silakan aja kalo kamu mau bawa pacar, Fhi!"

Tubuhku membeku seperti semalam. Pertanyaan itu kembali menampar wajah dengan keras dan mungkin akan meninggalkan bekas merah. Ditambah rasa perih dan berdenyut. Lengkap sudah. Saat ini juga, detak jantungku mulai tidak beraturan. Aku menggigit bibir bawah. Bingung harus menjawab apa.

Aku harus menjawab apa? Bantu aku!

"Usia kamu udah pas untuk menikah, Fhi!" Mama berbicara penuh penekanan.

Aku menghela napas panjang. Kugenggam kedua tangan Mama dengan erat. Mata Mama berbinar penuh harapan. "Ma. Pernikahan bukan hal yang gampang. Menikah bukan untuk sebulan atau tiga bulan, tapi untuk seumur hidup. Sampai maut memisahkan. Pernikahan juga membutuhkan biaya yang besar. Fhia gak mau kalo harus ngebebanin Mama lagi. Percuma dong kalo Fhia nikah, tapi masih nyusahin Mama!" Aku mendesah. Akhirnya, pertanyaan Mama terjawab sudah. Kalian harus percaya bahwa dari semalam aku tidak bisa tidur karena memikirkan itu. Tapi, sekarang aku merasa lega. Ya, lumayan.

Aku berkata seperti itu bukan tanpa alasan, karena aku sudah berprinsip bahwa hanya satu kali membawa pria ke rumah untuk diajak ke jenjang yang lebih serius. Kalian mungkin bertanya-tanya, kenapa sampai punya prinsip seperti itu? Oke. Aku coba jelaskan.

Apa kalian bangga jika terus berganti-ganti pacar? Apa kalian tidak berpikir bagaimana penilaian orang lain? Apa kalian merasa diri kalian laku, karena banyak pria yang mau?

Balikan pertanyaan itu untukku. Aku tidak bangga sama sekali. Sekarang buat apa berganti-ganti pacar sampai dibawa ke rumah kalau ujung-ujungnya tidak serius? Masih belum mengerti? Lupakan! Nanti kalian juga akan paham dengan sendirinya.

"Fhi." Mama mengelus lenganku dengan lembut dan matanya juga berkaca-kaca. "Mama takut dan khawatir kalo kamu disebut perawan tua. Mama gak mau mendengar itu!"

Aku melihat jelas betapa khawatirnya Mama. Tapi, untuk saat ini rasanya aku ... aku belum siap.

Ponselku kembali berbunyi. Aku mengambilnya dari dalam tas. Lagi-lagi notif dari Meta.

Aku tidak mau mengeluarkan kata-kata yang akan membuat Mama sakit hati. "Ma. Fhia berangkat kerja dulu, ya!" Aku berdiri, menyudahi obrolan yang membuatku semakin dilanda kebingungan.

Mama mengangguk-angguk pelan. "Hati-hati, Fhia!"

Aku tersenyum.

Kukira Kau JODOH (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang