Enam

4 2 0
                                    

Bandung-Yogyakarta.
Apa aku salah kalau mengejar cinta?

Pemandangan indah terus berjalan cepat menemaniku yang tengah duduk di kursi kereta. Mungkin ini akan jadi perjalanan yang paling berharga bagi Hadnan karena dia tidak pernah naik kereta. Dan mungkin, ini adalah hari bahagia bagi Meta yang akan segera bertemu dengan tunangannya. Tapi, rasanya bagiku ini tidak berarti apa-apa. Percuma saja, itu tidak akan membuatku terpesona.

Sejak kejadian semalam, Alden tetap memutuskanku dan mematikan sambungan telepon. Di situ aku merasa bahwa, percuma aku hidup kalau separuh napasku pergi. Diputuskan cinta adalah hal yang paling menyakitkan. Apalagi pas lagi sayang-sayangnya. Aneh, sih. Kenapa harus seperti itu dulu? Kenapa bukan lagi sedih-sedihnya? Supaya bisa merelakan dengan cara yang mudah. Kalau sudah begini, jadinya aku yang paling tersakiti.

Kereta Lodaya. Kereta yang membawaku menuju Yogyakarta. Menghubungkan dua kota besar melalui stasiun Bandung Hall dan stasiun Solo Balapan. Kereta ini sudah beroperasi sejak lama, kalau tidak salah sekitar tahun 1992 yang melayani perjalanan lintas provinsi. Total jarak yang ditempuh sekitar 447 kilometer sekali jalan.

Kalau dikaitkan dengan hubunganku dan Alden. Kuat juga, ya. Selama beberapa tahun kami menjalani hubungan jarak jauh. Menahan rindu dan entah kapan akan bertemu. Sekalinya bertemu, kita sudah bukan sepasang kekasih lagi.

Aku tidak pernah berpikir akan sampai di titik ini. Titik di mana aku harus menjemput Alden pulang, terutama hatinya. Kalau pun disebut bodoh, aku akui. Di mana-mana tidak ada namanya wanita menghampiri pria. Tapi, hari ini aku melakukan itu dengan alasan sudah berjanji sama mama. Aku tidak mau membuat mama sedih, apalagi kalau mendengar hubungan kami berakhir.

Awalnya, Meta dan Hadnan marah besar. Mereka tidak mau menemaniku. Setelah menceritakan semua kejadian semalam dan ketakutan yang aku rasakan kalau sampai mama tahu, mereka akhirnya setuju. Tapi, aku yakin pasti ada perasaan terpaksa di diri mereka.

Meta menepuk bahu. Menyadarkanku yang terus menatap kosong. "Fhi?"

Aku tidak menjawab dan hanya menoleh.

Meta menghela napas. "Kita akan turun di stasiun Wates. Di sana Rayi akan menjemput kita!"

Aku mengangguk pelan, kemudian memalingkan wajah ke jendela. Pria yang barusan disebut Meta adalah tunangannya. Rayi, pria asal Yogyakarta. Meta dan Rayi memang menjalani hubungan jarak jauh. Sama sepertiku—ah, tidak. Itu dulu.

Membutuhkan waktu yang sangat lama untuk sampai di Yogyakarta. Sekitar delapan jam lebih lima belas menit—itu juga kata Meta. Kami berangkat pukul tujuh lebih dua puluh, pagi. Berarti kami akan sampai di kota itu sore hari.

Seharusnya, kami berangkat kerja. Tapi, aku tidak peduli. Jikalau mereka mengeluarkan kami, kami tinggal mencari pekerjaan baru. Gampang, kan?

Aku jadi ingat sama mama karena tidak bilang. Maafkan Fhia, ma. Tapi Fhia lakuin semua ini juga demi mama!

Stasiun Wates.

Tulisan itu sudah aku lihat. Kereta memperlambat laju dan berhenti dengan sangat mulus. Bibirku melebarkan senyum.

"Fhi, ayo kita turun!"

Aku menoleh dan mengangguk saat mendengar ajakan Hadnan.

Kami sudah turun dari kereta dan menunggu Rayi. Seorang pria turun dari mobil dan melambaikan tangan ke arah Meta.

"Itu Rayi!" tunjuk Meta. "Ayo. Kita langsung ke mobil!"

Aku dan Hadnan mengangguk bersamaan. Kami masuk ke mobil dan melaju, membelah kota Yogyakarta. Kupandangi bangunan-bangunan ini. Tidak jauh berbeda dengan kota Bandung. Begitu indah.

Matahari sudah tenggelam, kami pun tiba di rumah Rayi. Ibunya Rayi sangat baik. Baru saja kami tiba, dia sudah menyiapkan makanan untuk makan malam. Kami makan bersama, mengobrol, menceritakan sepanjang perjalan, dan menggoda Meta dengan Rayi.

Orang tua Rayi memilih tidur terlebih dahulu. Kami berempat duduk di ruang tamu. Aku melirik Meta dan Rayi, pemandangan yang membuatku sakit hati. Aku memilih berdiri dan berjalan ke halaman rumah.

Aku merogoh ponsel dari saku jaket.

Fhia: Ma. Maafin Fhia, kalo sebelumnya Fhia gak bilang dulu sama Mama. Fhia sekarang di Jogja, Ma. Fhia mau jemput Alden.

Pesan itu terpaksa aku kirimkan ke mama. Takutnya mama khawatir karena sampai malam ini aku belum juga pulang.

Ponselku berdering. Mama membalas pesanku.

Mama: Ya Allah, Fhia. Kenapa gak bilang dulu sama Mama, Nak?

Aku menghela napas. Mungkin air mata mama sekarang menetes.

Fhia: Mama gak perlu khawatir. Fhia baik-baik aja, kok. Sekarang Fhia di rumah Rayi—tunangannya Meta. Di sini juga ada Hadnan. Mama gak usah pikirin keadaan Fhia, ya!

Mama: Mama selalu mendoakan yang terbaik buat kamu, Fhi.

Aku mendesah. Pesan itu tidak lagi aku balas. Aku membuka ruang chat Alden.

Fhia: Al. Aku mau ketemu di alun-alun Wates. Aku tunggu kamu di sana!

Setelah mengirimkan pesan itu. Aku hendak berbalik badan, tetapi jantungku langsung meloncat hebat saat seorang pria berdiri tepat di depanku.

"Hadnan!" Aku mengepalkan tangan, geram.

"Kamu ngapain di luar, Fhi?" Kedua alis Hadnan terangkat dengan netra yang bergerak ke kanan dan kiri.

"Kamu harus anterin aku ke alun-alun Wates sekarang! Meta sama Rayi juga ikut!"

"A-apa, Fhi?" pekik Meta. Wanita itu berdiri menghampiriku dan Hadnan, disusul Rayi dari belakang. "Kamu bilang apa, Fhi?"

"Ray?" Aku menatap Rayi. "Kamu bisa anterin aku ke alun-alun Wates sekarang? Bisa, ya! Aku mohon!"

Alis Rayi menukik.

Kualihkan pandangan ke Meta. "Ta. Aku mohon. Aku mau ketemu Alden!"

***

Setelah perdebatan yang menguras emosi. Akhirnya Meta mau mengabulkan permohonanku. Kami sudah berada di alun-alun Wates, sekitar pukul setengah sebelas malam.

Ponselku berdering, ada notifikasi dari Alden.

Alden: Fhi, kamu di mana?

Setelah itu, Alden mengirimkan peta lokasi di mana dia berdiri.

Aku menghampiri Alden ditemani mereka—Meta, Rayi, dan Hadnan.

Seorang pria yang sedang berdiri menghadap tugu bertuliskan Kulonprogo yang memancarkan warna biru, begitu indah. Aku mematung. Memandangnya yang sekarang berjarak dua langkah. Dulu kita jauh, hanya bisa mengucapkan rindu lewat suara. Sekarang kita dekat, apalah artinya jika kita sudah tidak bersama. Kini, aku meretas rindu di Yogyakarta.

"A-Al?" Aku bertanya dengan hati-hati. Hanya takut jika salah orang.

Pria itu berbalik badan.

Deg!

Pria di hadapanku ini tersenyum dengan canggung. Kumis tipis dengan sorot mata yang serius itu melumpuhkanku. Aku benar-benar bertemu Alden.

"Al?" Aku berjalan menghampiri.

Meta, Rayi, dan Hadnan pasti kini sedang memperhatikan kami.

"Kamu kapan ke sini, Fhi?" Alden bertanya sambil berjalan, lantas aku mengikutinya.

"Sekitar sore tadi!" Aku membalasnya dengan rasa canggung juga.

Kukira Kau JODOH (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang