Tiga

5 2 0
                                    

Kupandangi layar benda pintar ini. Sejak tadi tidak ada notif apa pun dari ponselku—bukan, lebih tepatnya tidak ada chat dari Alden.

Setelah mengatakan hubungan kami ke mama, aku langsung kembali ke kamar. Mama pasti melihat pipiku yang berubah menjadi merah muda, entah kenapa aku merasa malu. Telapak tanganku juga basah, saking gugupnya. Meskipun, aku sudah berusaha keras mengumpulkan nyali.

Netraku melirik jam dinding. Pukul sepuluh malam. Alden pasti belum pulang dari tempatnya bekerja. Beberapa hari ke belakang, kami memang jarang bertanya kabar. Terlebih lagi, waktu luang Alden hanya di jam-jam rawan. Seperti sekarang, kalau tidak pukul sepuluh paling pukul sebelas. Hanya satu jam kami mengobrol lewat chat, karena Alden selalu bilang kalau dia mengantuk. Aku pun terpaksa menyudahi obrolan kami, meskipun aku masih kangen.

Tiba-tiba ponselku berdering, membuyarkan lamunan tentang Alden. Ternyata, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Bibirku tersenyum dengan lebar, saking senangnya.

Alden: Udah tidur ya, Fhi?

Aku mendesah sangat panjang. Itulah Alden. Si pria manis berkumis tipis. Satu hal yang aku suka di saat Alden tersenyum, giginya gingsul. Lucu. Sorot matanya memang terlihat serius dengan iris berwarna cokelat gelap, tapi hatinya lembut. Si alis tebal, tapi tidak setebal ulat bulu berwarna hitam itu, sih. Errr ... aku jadi geli sendiri.

Alden adalah teman seangkatanku waktu SMA, hanya saja kami berbeda kelas. Kami berkomitmen sudah lama, sejak ujian nasional. Kalau pasangan yang sudah berkomitmen itu disebutnya pacar, ya? Atau, yang lainnya?

Alden: Fhi?

Ponselku kembali berdering. Dengan tergesa-gesa aku membalas pesan Alden. Takutnya dia bilang "aku mau tidur ya, Fhi. Udah ngantuk" Tapi, aku tidak mau itu terjadi karena aku lagi kangen Alden. Terlihat bucin, ya.

Fhia: Belum kok, Al. Ini aku lagi nunggu kamu!

Aku mengetiknya sambil senyum-senyum sendiri. Kalau ada orang lain di kamarku, pasti dia mengira kalau aku sudah tidak waras. Hei! aku pernah mendengar seseorang berkata "aku rela kehilangan semua kewarasanku demi mencintaimu" Jadi, itu hal yang wajar.

Alden: Aku lagi jalan pulang nih, Fhi. Oh iya, ada cerita yang lucu. Tapi, kamu jangan ketawa, ya! Kasian boleh, sih. Tadi kan aku masak fried shrimp, mungkin aku celupin udang ke minyaknya itu terlalu dalem sampai tanganku juga ikut kecelup, Fhi. Astaga. Mana itu minyak panas lagi. Kayaknya aku ngelamun, mungkin lagi kangen sama kamu, Fhi.

Aku tertawa dalam hati. Kalau tertawa lepas sampai mulut terbuka lebar, aku tidak bisa karena takut jika mama akan curiga. Masalahnya, kamarku dan mama berdekatan, hanya dinding yang jadi pembatas.

Sebelum membalas pesan itu, aku diam sejenak. Alden kangen? Belakang ini dia ke mana?

Fhia: Makanya, hati-hati! Fokus dong, Al. Aku tetap ada kok, di hatimu.

Alden: Mulai lagi nih, dasar si ratu gombal. (Diakhir pesannya, Alden mengirimkan emoticon peluk)

Lagi-lagi aku tertawa dalam hati. Itu memang panggilan untukku dari Alden, dan aku hanya mengeluarkan rayuan gombal untuk dia saja.

Fhia: Oh, iya Al. Kemaren-kemaren kamu ke mana?

Alden: Aku lagi cape banget, Fhi. Jadinya gak hubungin kamu. Maaf, ya!

Bibirku membulat, membentuk huruf O besar. Pekerjaan Alden memang berbeda denganku. Dia bekerja di Romantiquen Resto, sebagai chef. Wajar saja jika dia lebih lelah dariku. Kami memang menjalani hubungan jarak jauh. Sejauh Bandung dan Yogyakarta.

Fhia: Oh iya, Al. Arsi temenku besok mau nikah, loh!

Alden: Nikah? Em ... bilangin aja selamat dariku ya, Fhi.

Aku sedikit merasa aneh dengan ucapan Alden. Jangan sampai aku berpikir hal-hal negatif.

Kata-kata mama kembali melintas di otak. Sebelumnya, aku sempat bertanya kepada teman-temanku yang sudah menikah dan bertunangan. Pertama, aku tanya ke Arsi. Kenapa dia memilih langsung menikah, Arsi hanya menjawab kalau dia tidak mau membebani pasangannya dengan mengeluarkan biaya dua kali lipat.

Setelah itu, aku juga bertanya kepada Meta. Wanita itu justru berkata lain, dia memilih bertunangan terlebih dahulu dengan alasan bahwa keduanya ingin mengumpulkan biaya pernikahan bersama, tanpa membebani orang tua mereka.

Aku diam sejenak. Membandingkan keduanya. Kali ini bukan waktu yang tepat untuk basa-basi. Menurutku, jika seseorang sudah berkomitmen, itu artinya mereka menjalani hubungan yang serius. Dan, aku serius menjalani ini dengan Alden. Sebelum aku berpikir jauh ke sana, lebih baik aku tanyakan kembali keseriusan Alden.

Fhia: Al, aku mau ngomong serius sama kamu.

Tanganku gemetar mengetik pesan itu, tetapi hal ini harus aku pertanyakan.

Alden: Mau ngomong apa, Fhi?

Fhia: Kita kan sudah berkomitmen, Al.

Alden: Iya, Fhia.

Fhia: Kamu beneran serius sama aku, kan? Karena aku gak pernah main-main soal perasaan.

Alden: Kamu ragu, Fhi? Selama bertahun-tahun ini aku serius ngejalanin hubungan ini dengan kamu.

Fhia: Maksudku bukan keseriusan itu, Al.

Alden: Lalu?

Fhia: Ke tahap yang lebih serius dari ini.

Dari layar benda pintar ini, aku melihat kalau Alden sedang mengetik. Sekitar tiga menit berlalu, Alden terus saja mengetik. Sebenarnya, apa yang mau dia kirim? Aku mengetuk-ngetuk dagu, mulai merasa kesal menunggu Alden. Namun, itu tidak berjalan lama. Kata "mengetik" itu hilang. Lantas, aku mengirimkan pesan lagi.

Fhia: Al. Kamu gak tidur, kan?

Pesan itu centang dua berwarna biru.

Fhia: Al?

Fhia: Alden?

Fhia: Al, kamu udah tidur?

Di pesan terakhir, aku mengirimkan emoticon sedih.

Aku mendesah. Alden tidak juga membalasnya. Netraku melirik jam dinding. Sudah hampir tengah malam. Mataku juga terasa berat, seperti ada perekat yang sengaja ditumpahkan. Tapi, aku harus menahan rasa kantuk ini.

Fhia: Alden?

Aku menggeleng, dan berpikir mungkin Alden sudah tidur. Saat hendak mematikan data, ponselku berdering.

Alden: Maaf, ya. Tadi ketiduran. Aku mau tidur dulu ya, Fhi. Selamat malam.

Dengan alis menukik, aku merasa sedikit aneh membaca pesan Alden. Tubuhku rasanya memanas seketika. Sudah pasti wajahku sekarang juga memerah. Aku pikir Alden akan membalas pertanyaan itu. Jadi, dia mengetik apa dari tadi? Sia-sia menunggu selama sepuluh menit ini.

Tanganku hendak membalasnya, tetapi netraku melihat ke sudut kiri, tepat di bawah nama Alden, kata yang semula online kini berubah. Aku menghembuskan napas berat karena Alden langsung off. Argh! Aku mengepalkan tangan, kemudian melayangkannya ke wajah boneka beruang, berwarna cokelat muda ukuran sedang. Meluapkan semua kekesalanku. Kalau kamar ini bisa berubah menjadi tebing, aku pasti akan berteriak dengan sangat lantang dan keras.

Apa aku salah bertanya seperti itu?

Kukira Kau JODOH (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang