Dua

5 2 0
                                    

Aku menghela napas, kemudian menatap Meta dan Hadnan bergantian. "Jadi kayak gitu! Aku bingung, Ta, Nan. Aku harus gimana?"

Semua kejadian tadi pagi dengan mama aku ceritakan kepada mereka. Itu cukup membuatku lega. Apa kalian percaya, mereka justru tertawa mendengarkannya. Sahabat macam apa yang seperti itu?

Saat hendak membuka mulut. Hadnan menggerakkan kedua tangan ke arahku. Seperti melarangku untuk melanjutkan obrolan. "Tunggu dulu, Fhi! Tunggu! Aku mau ke toilet sebentar!"

Aku mendengkus, kesal. "Kenapa gak dari tadi sih, Nan?"

Hadnan sudah berdiri. Kedua tangannya mengangkat celana di bagian pinggang. Mungkin sedikit melorot. "Tapi pengennya sekarang, Fhi!"

Meta tertawa terbahak-bahak. "Ya udah sana! Daripada pipis di sini, ntar yang ada malah malu-maluin!"

"Tunggu ya, Fhi. Jangan kamu lanjutin lagi!" Hadnan menunjuk, kemudian berlari terbirit-birit.

Terlihat dari raut mukanya, mungkin Handan sudah tidak tahan. Kasihan sekali.

"Eh jangan lupa, ntar balik lagi harus bawa minuman!" Lagi-lagi Meta berteriak.

Aku menatap meja, karena sedikit merasa aneh dengan ucapan Meta. Meja kami kosong. Oh astaga, aku lupa membeli minuman atau makanan.

"Ya ampun, Fhia. Itu justru hal yang bagus, dong!"

Aku menyengir dengan kedua tangan menutup telinga. Bisa-bisa pendengaranku rusak karena jeritan Meta.

"Ta. Bisa gak kalo ngomong tuh kecilin dikit?" Aku menggerakkan tangan, mempraktikkan bagaimana memutar volume dari sound ke arah kiri.

Meta menghela napas. "Oke. Aku minta maaf!"

Aku menatap Meta malas.

"Ya bagus dong, kalo mama kamu udah ngasih lampu hijau, Fhi!" Meta melanjutkan ucapannya.

Kutopang wajah dengan kedua tangan, memandang sepasang kekasih di meja kantin sana. "Tapi bukan itu masalahnya, Ta!"

"Terus masalahnya?"

Telingaku mendengar pertanyaan itu. Aku menoleh. Rupanya Hadnan sudah kembali dari toilet. Dia juga membawa minuman. Dua botol teh pucuk dingin di tangan kanan dan satunya lagi di tangan kiri. Mungkin yang dua itu untuk aku dan Meta.

Oh iya, Hadnan. Aku lupa memperkenalkannya. Dia juga sahabatku. Malah, aku dan Hadnan sudah berteman sejak SMP. Kami bertiga memang bekerja di tempat yang sama. Victoria Stella Bandung. Itu nama perusahaannya. Perusahan yang bergerak di bidang pengembangan software kelas dunia.

Hadnan duduk kembali dan meletakkan dua botol minuman itu di atas meja. "Terus masalahnya apa, Fhi?" Dia kembali bertanya.

Aku merubah posisi duduk. Padahal, kursinya kecil, tapi aku mencoba lebih tenang. Kuedarkan pandangan. Berharap orang-orang di kantin ini tidak mendengarkan obrolan kami kembali. Selama obrolan tadi aku menceritakannya dengan suara yang sangat pelan. Bukan seperti cicitan tikus. Kedua sahabatku memang pendengar yang baik. Mereka mendengarkan semuanya tanpa memotong ucapanku.

"Masalahnya aku belum siap mental, Ta!" Aku menatap Meta, kemudian beralih ke Hadnan. "Itu masalahnya, Nan!"

Hadnan terkekeh. "Fhia. Fhia. Kamu itu udah dewasa, Fhi. Masih aja belum siap mental!"

Aku benar-benar belum siap! Awas kamu Hadnan. Kupukul nanti!

"Hadnan!" tegurku sambil memelototinya. "Pelan-pelan dong ngomongnya!"

"Kamu tenang dulu, Fhi!" Hadnan membuka penutup botol teh pucuk, kemudian memberikannya kepadaku. "Minum dulu! Gak capek apa dari tadi nyerocos mulu?"

Aku menyipit. Tanpa rasa malu tanganku mengambil botol itu, kemudian meneguknya sampai menyisakan setengah. 

Hadnan tersenyum sampai kedua matanya menyipit, tetapi itu tidak berjalan lama. Kini, dia sedang membuka minuman yang dibeli tadi. Mungkin tenggorokannya kering karena terus mengobrol.

"Fhi, aku tau perasaan kamu kayak gimana!" Meta mengangguk-angguk pelan. Tampak mencurigakan. "Aku tau kalo kamu pengen ngajak Alden ke rumah, tapi mental kamu belum siap!"

Jleb! Aku membatu. Ucapan Meta memang benar. Tapi, darimana Meta tahu soal perasaanku? Oh, atau mungkin Meta juga pernah mengalami itu? Sebelum dia bertunangan. Ya, kurasa.

"Ta, kamu deg-degan gak sih kalo bawa pria ke rumah?" Cih. Pertanyaan itu muncul di otak, begitu saja. Bukan pertanyaan yang aneh, kan?

"Deg-degan?" Alis Meta menukik, kemudian disusul dengan tawa yang sangat keras. "Fhia. Fhia." Meta menggeleng pelan. "Segitu gak siapnya mental kamu, Fhi?"

Aku menunduk. Astaga. Mungkin semua orang yang berada di kantin ini sedang memperhatikan kami, karena aku yakin kalau teriakan Meta barusan pasti mengganggu mereka. Sepertinya aku salah memilih teman cerita. Kuangkat kembali wajah dan menatap Meta tajam. "Aku serius, Ta!" Kali ini aku tidak mau basa-basi. "Aku bingung. Apa aku ajak aja Alden ke rumah, untuk ketemu mama? Aku juga gak mau liat mama sedih. Apalagi kekhawatiran mama, kalo aku disebut perawan tua."

Meta menepuk punggung tanganku dengan lembut. "Kamu sama Alden kan udah berkomitmen, Fhi! Masih belum siap mental juga? Kamu tinggal jelasin hubungan kalian apa ke tante Rahmi. Beres, kan?"

Aku bergeming.

"Shafhiya!" Hadnan memanggil dengan nada yang serius. "Mungkin ini saat yang tepat buat kamu, Fhi! Kamu harus bilang soal Alden. Aku ngerasain gimana khawatirnya tante Rahmi."

Aneh sekali, Hadnan mendadak sok bijak seperti ini. Apa yang merasuki pria itu?

Meta mengangguk, setuju dengan ucapan Hadnan. "Kamu gak mau liat mama kamu sedih kan, Fhi? Itu jalan keluarnya. Kamu harus bawa Alden ke rumah!"

Tubuhku membeku. Seperti diikat oleh ribuan tali. Semacam sanderaan. Aku mencerna semua ucapan Hadnan dan Meta. Kuhela napas berkali-kali. Apa kedewasaan seseorang dilihat dari berapa siap mentalnya?

***

Aku menghela napas sebanyak tiga kali. Berusaha lebih tenang dan juga mengumpulkan nyali. Sekarang, aku sedang berdiri di depan pintu kamar mama. Tanganku memutar knop pintu perlahan dan membukanya. "Ma?"

Aku pun masuk. "Ma. Mama lagi apa?"

Mama menoleh. "Fhia. Mama lagi beres-beres aja, Fhi. Ada apa?"

"Ma. Ada yang mau Fhia bicarain sama Mama!" Aku duduk di samping Mama.

Mama merespons perkataanku dengan senyuman. Aku tidak mau senyuman itu diganti dengan kesedihan.

Aku diam beberapa detik. Berusaha lebih tenang, walaupun detak jantungku tidak beraturan. "Fhia udah punya pacar, Ma!" Setelah berkata seperti itu, aku menyengir. Percaya atau tidak, detak jantungku semakin kencang.

Wajah bahagia Mama terlihat dengan jelas. Bibirnya melebarkan senyum dengan sangat manis. Mama menghela napas. Mungkin merasa lega mendengarnya. "Alhamdulillah ...," ucapnya. "Siapa namanya, Fhi?"

Tanpa disangka, aku juga tersenyum membalas Mama. Ada keyakinan tersendiri di hati bahwa aku menjalani hubungan yang serius dengan Alden.

"Namanya Alden, Ma!"

"Alden? Nama yang bagus, Fhi!" Mama mengelus tanganku lembut. "Lebaran tahun ini kamu bawa dia ke rumah ya, Fhi!"

Deg! Netraku bergerak ke kanan dan kiri beberapa kali, kemudian tersenyum sambil mengangguk pelan. Entah kenapa bibirku terasa kelu.

Kukira Kau JODOH (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang